I.
PENDAHULUAN
Pengelolaan
budidaya ikan (khususnya ikan mas) perlu memperhatikan efisiensi dan produktivitas
usaha serta kualitas ikan. Hal ini harus diimbangi dengan upaya perbaikan dan peningkatan
kualitas induk maupun benih ikan mas. Saat ini disinyalir telah terjadi
penurunan kualitas induk maupun benih ikan mas yang dipelihara oleh petani
ikan. Beberapa usaha maupun penelitian telah dilakukan dalam upaya peningkatan
produktivitas (produksi) dan perbaikan serta peningkatan kualitas genetik ikan mas
seperti program seleksi, manipulasi jenis kelamin melalui perlakuan hormonal
maupun manipulasi kromosom.Teknik-teknik manipulasi kromosom telah diterangkan
oleh para peneliti sejak tahun 1970-an dan teknik ini potensial untuk sex
control dan manipulasi genome (Thorgaard, 1983).
Manipulasi
kromosom mungkin dilakukan selama siklus nukleus dalam pembelahan sel, dasarnya
adalah penambahan atau pengurangan set haploid atau diploid. Pada ikan dan
hewan lainnya dengan fertilisasi eksternal, prosesproses buatan (artificial)
dapat dilakukan untuk salah satu gamet sebelum fertilisasi atau telur terfertilisasi
pada beberapa periode selama formasi pada zigot (Purdom, 1983).
Poliploidisasi
merupakan salah satu metode manipulasi kromosom untuk perbaikan dan peningkatan
kualitas genetik ikan guna menghasilkan benih-benih ikan yang mempunyai keunggulan,
antara lain: pertumbuhan cepat, toleransi terhadap lingkungan dan resisten terhadap
penyakit. Induksi poliploid dalam budidaya ikan sangat menarik perhatian masyarakat
petani ikan maupun para peneliti di bidang perikanan. Poliploidisasi pada ikan
dapat dilakukan melalui perlakuan secara fisik seperti melakukan kejutan (shocking)
suhu baik panas maupun dingin, pressure (hydrostatic pressure)
dan atau secara kimiawi untuk mencegah peloncatan polar body II atau
pembelahan sel pertama pada telur terfertilisasi (Thorgaard, 1983; Yamazaki, 1983;
Carman et al., 1992; Shepperd dan Bromage, 1996).
Thorgaard
(1983) menjelaskan, pendekatan praktis untuk induksi poliploidi melalui kejutan
panas merupakan perlakuan aplikatif sesaat setelah fertilisasi (untuk induksi triploidi)
atau sesaat setelah pembelahan pertama (untuk induksi tetraploidi) pada suhu lethal.
Kejutan suhu selain murah dan mudah juga efisien dapat dilakukan dalam jumlah banyak
(Rustidja, 1991). Kejutan panas merupakan teknik perlakuan fisik yang paling umum
digunakan untuk menghasilkan poliploidi pada ikan (Don dan Avtalion, 1986).
Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan untuk menghasilkan poliploidisasi pada
ikan juga mempengaruhi laju penetasan, abnormalitas, kelangsungan hidup
dan laju pertumbuhan ikan. Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam perlakuan
kejutan suhu pada telur, yaitu waktu awal kejutan, suhu kejutan dan lama
kejutan (jelas sangat rendah daya hidupnya, tetapi Don dan Avtalion, 1986).
Nilai parameter tersebut berbeda untuk setiap spesies (Pandian dan Varadaraj,
1988). Tave (1993) melaporkan, triploidisasi akan menyebabkan peningkatan
pertumbuhan dan sterilitas. Ukuran sel ikan triploid lebih besar dibandingkan
dengan diploid, nukleus berisi 33 % lebih allel untuk pertumbuhan dan energi untuk
pertumbuhan produksi gamet berkurang atau terhambat. Ikan triploid mempunyai gonadosomatic
index yang lebih rendah bila dibandingkan dengan diploid (Mair, 1993).
Keuntungan
triploid adalah dapat mengontrol overpopulate, membuat populasi monosex,
memacu pertumbuhan dan kelulushidupan serta memiliki pertumbuhan lebih cepat
dari diploid, karena energi yang dipergunakan untuk perkembangan gonad pada
diploid dipergunakan untuk pertumbuhan somatik pada triploid (Thorgaard, 1983).
Tetraploid
terlihat dapat dibesarkan untuk kematangan kelamin dan dipergunakan dalam
memproduksi ikan triploid melalui persilangan dengan diploid normal dan androgenetik
pada telur-telur yang diradiasi dengan sinar-γ (Purdom, 1993 dan Santiago et
al., 1993). Valenti (1975) dalam Thorgaard (1983) menemukan
beberapa kemungkinan tetraploid di antara telur Tilapia aurea yang
diperlakukan dengan kejutan dingin. Ikan-ikan tersebut lebih besar dari kontrol
dan triploid pada umur 14 minggu.
Studi
kromosom dan nukleoli pada ikan penting dilakukan, selain dapat dipergunakan dalam
uji poliploidisasi juga banyak bermanfaat dalam sitotaksonomi untuk menduga
hubungan filogenetik beberapa spesies ikan (Miyaki et al., 1997 dalam
Carman dkk., 1997). Metode penghitungan jumlah nukleolus merupakan metode
yang mudah dan relatif murah serta mempunyai peluang yang besar untuk diterapkan
pada berbagai spesies ikan. Metode ini hanya memerlukan sedikit jaringan dan semua
sumber jaringan dapat dipergunakan (Philips et al., 1986). Penentuan
ploidi beberapa sampel ikan dapat dibuat hanya dalam waktu singkat dan sampel
dapat diamati tanpa membunuh ikan (Carman, 1992).
II.
ISI
2.1 Poliploidisasi
Ploidisasi melalui penghitungan jumlah
nukleolus dengan perlakuan kejutan suhu 40°C selama 1,5 menit yang
menghasilkan triploid sebesar 70 % dan tetraploid sebesar 60 % menunjukkan
bahwa perlakuan telah efektif untuk menghasilkan poliploidisasi pada
ikan mas, akan tetapi masih belum optimal.
Keberhasilan poliploidisasi sangat
dipengaruhi oleh suhu kejutan, waktu kejutan dan lama kejutan,
seperti disampaikan oleh Don dan Avtalion (1986) dan tergantung juga
pada umur dan kualitas (kematangan) telur (Pandian dan Varadaraj,
1990). Proses triploidisasi pada ikan prinsipnya adalah mencegah atau menahan
terjadinya peloncatan polar body II dari telur atau pembelahan
meiosis II, sedangkan tetraploidisasi adalah perlakuan kejutan untuk
mencegah pembelahan pertama (first cleavage) atau sebelum pembelahan
mitosis I. Kejutan sebaiknya dipergunakan setelah kromosom bereplikasi
dan nukleus zigot kira-kira terbagi menjadi dua. (Bidwell et
al., 1985; Johnstone, 1993; Tave, 1993; Shepperd dan Bromage, 1996).
Periode dengan sensitif tinggi untuk menghasilkan ikan tetraploid
menggunakan perlakuan kejutan panas dicapai pada waktu menutupnya
konjugasi pronuklei betina dan jantan serta lysisnya membran
nuklear yang mencapai metafase mitosis I (Minrong et al., 1993).
Peloncatan polar body II pada beberapa spesies ikan terjadi
antara 3-7 menit setelah fertilisasi (Carman et al., 1991). Komen
(1990) mengatakan bahwa peloncatan polar body II terjadi pada 5
menit setelah fertilisasi, sedangkan proses mitosis terjadi pada 30
menit setelah fertilisasi.
2.2
Tahap-Tahap Proses Poliploidi Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Ø Pemijahan dan stripping induk ikan mas
Pemijahan ikan dilakukan dengan cara memasangkan
induk ikan mas jantan dan betina di dalam kolam pemijahan ikan dengan perbandingan
jantan dan betina adalah 3:1. Selanjutnya ikan mas akan melakukan perkawinan
secara alami dan biasanya baru berlangsung pada malam hari (tengah malam) dengan
selang waktu 11-18 jam setelah dipasangkan.
Setelah nampak tanda-tanda ikan mulai memijah,
induk betina dan jantan ikan mas ditangkap dan dilakukan pengurutan (stripping)
untuk mendapatkan telur dan sperma ikan mas. Telur-telur yang diperoleh
ditampung dalam petridish dan sperma ditampung dalam tabung reaksi yang
berisi larutan NaCl Fisiologis dengan pengenceran 10 kali. Kemudian larutan
sperma disimpan sementara dalam refrigerator suhu 4°C.
Ø Perlakuan poliploidisasi
Perlakuan poliploidisasi dilakukan
melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: telur ikan mas dalam petridish hasil
stripping diambil mempergunakan spatula dan diletakkan dalam petridish
bersih dan kering. Selanjutnya, larutan sperma diteteskan pada telur
sebanyak 2-3 tetes dan dilakukan pengadukan (dicampur) secara perlahan
mempergunakan bulu ayam. Kemudian, campuran larutan sperma dan telur
ditambahkan air bersih sebanyak 3-4 tetes untuk melangsungkan proses
fertilisasi telur dan secara perlahan-lahan diaduk mempergunakan bulu ayam. Disebar
pada masing-masing saringan yang telah ditempatkan dalam wadah berisi larutan
urea dan garam 3:4 untuk 1 liter air. Tahap selanjutnya, telur-telur
terfertilisasi yang termasuk dalam
kelompok triploidisasi, 3 menit setelah fertilisasi dilakukan perlakuan kejutan
suhu panas 40°C selama 1,5 menit. Selanjutnya telur tersebut dimasukkan dalam
bak inkubasi. Telurtelur terfertilisasi dalam kelompok tetraploidisasi, 29
menit setelah fertilisasi dilakukan perlakuan kejutan suhu panas 40°C selama
1,5 menit dan kemudian dimasukkan bak penetasan (inkubasi) telur.
Ø Penetasan dan pemeliharaan larva
Penetasan telur dilakukan dengan cara meletakkan
telur-telur terfertilisasi dalam saringan yang telah diperlakukan triploidisasi
dan tetraploidisasi serta kontrol dalam bak penetasan yang telah diberikan
methylen blue. Suhu air diatur 28°C.
Setelah seminggu lamanya, larva ikan dipindahkan
ke dalam akuarium. Selama pemeliharaan, pakan yang diberikan adalah pakan alami
Artemia sp., cacing Tubifex sp. Dan pakan pellet yang diberikan
secara bertahap.
2.3
Laju
penetasan
Umumnya persentase penetasan ikan
berkisar antara 50-80 % (Richter dan Rustidja, 1985). Rendahnya laju penetasan telur
ikan mas ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: kualitas telur
dan kualitas air media inkubasi (penetasan).
Tipe telur ikan mas yang bersifat
melekat (adhesif) memungkinkan sebagai satu faktor kualitas telur yang
menyebabkan rendahnya laju penetasan pada telur ikan mas. Sifat telur ikan mas
yang melekat, membutuhkan tempat
pelekatan
atau substrat yang baik. Biasanya untuk ikan mas pelekatan telur yang baik
dapat dilakukan di rerumputan dan akar-akar tanaman air ataupun substrat buatan
seperti kakaban (ijuk). Blaxter (1969) menyatakan bahwa perbedaan substrat
sebagai inkubasi dapat berpengaruh terhadap perkembangan pertama dan fisiologis
keturunan. Telur ikan mas yang bersifat adhesif yaitu melekat pada substrat
atau antara telur yang satu dengan telur yang lain, sering mengakibatkan
telur-telur tersebut tidak dapat menetas karena difusi oksigen menjadi berkurang
(Sumantadinata, 1991). Kekurangan oksigen merupakan salah satu penyebab adanya kematian
pada telur atau embrio yang sedang berkembang (Woynarovich dan Horvath, 1980).
Homogenitas
perkembangan telur adalah salah satu faktor kualitas telur yang merupakan aspek
tersendiri dalam menunjang keberhasilan penetasan pada telur ikan mas. Gustiano
dkk. (1987) melaporkan bahwa adanya variasi nilai laju penetasan
disebabkan oleh perkembangan telur yang tidak seragam kematangan gonadnya.
Fase gastrula merupakan fase yang rawan
pada perkembangan telur, sehingga kematian tertinggi akan terjadi pada fase
ini. Blaxter (1969) menyatakan, pengaruh penting pada kelangsungan hidup
keturunan pada tingkat individu dan spesies adalah kondisi inkubasi, fekunditas
dan ukuran telur.
Pembelahan sel memerlukan suasana lingkungan
yang optimum. Banyak faktor yang mempengaruhi pembelahan, tetapi yang penting adalah
suhu dan pH medium (Yatim, 1990 dan Effendie, 1997). Suhu untuk penetasan telur
ikan mas yang ideal adalah berkisar antara 20-25°C (Landau, 1992), sedangkan
Blaxter
(1969)
menyatakan, suhu 14-20°C dan pH 7,9-9,6 merupakan kondisi optimum untuk penetasan
telur.
Suhu air inkubasi mempengaruhi reaksi enzimatis
di dalam telur yang berperanan dalam melemahkan lapisan chorion telur ikan.
Lemah dan pecahnya chorion akan mengakibatkan telur menetas dan embrio keluar
dari cangkangnya menjadi larva. Jika embrio dalam chorion (zona radiata dan
selaput jelly) mulai menetas, suatu enzim dihasilkan di dalam daerah kepala
ventral. Enzim penetasan ini dilepaskan di dalam ruang perivitelline dan
melemahkan chorion sampai akhirnya lapisan chorion ini pecah (Richter dan Rustidja,
1985).
Laju penetasan telur ikan mas triploid
maupun tetraploid jauh lebih rendah dibandingkan dengan ikan mas diploid. Hal
ini dimungkinkan akibat pengaruh perlakuan kejutan suhu panas yang diberikan
pada telur dalam proses poliploidisasi. Tave (1993) mengemukakan bahwa
mortalitas yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh beberapa macam efek
merugikan dari perlakuan kejutan pada sitoplasma telur. Perlakuan kejutan suhu
dapat mengakibatkan kerusakan pada benang-benang spindel yang terbentuk saat
proses pembelahan sel dalam telur. Kejutan suhu dan tekanan mengakibatkan
rusaknya mikrotubulus yang membentuk spindel selama pembelahan (Dustin, 1977 dalam
Gervai et al., 1980). Rieder dan Bajer (1978) dalam Bidwell et
al. (1985) berpendapat bahwa kejutan panas menyebabkan depolimerisasi
pada polimer tubulin dalam mikrotubulus yang essensial dalam pembentukan
spindel. Pandian dan Varadaraj (1990) menyatakan, beberapa telur yang diberi
kejutan panas mati sebelum atau
sesaat
setelah menetas. Percobaan triploidisasi pada ikan salmon salar memperlihatkan kematian
selama percobaan yang terjadi pada saat penetasan telur dan pemeliharaan (Johnstone,
1985).
Rendahnya laju penetasan pada ikan mas triploid
dan tetraploid ini juga disebabkan tingginya larva cacat yang dihasilkan
setelah proses penetasan. Rieder dan Bajer (1978) dalam Bidwell et al.
(1985) mengemukakan bahwa larva cacat dapat disebabkan oleh lapisan terluar
dari telur (chorion) yang mengalami pengerasan, sehingga embrio akan sulit
untuk keluar. Setelah chorion dapat dipecahkan, maka embrio akan lahir dengan
keadaan tubuh yang cacat. Pengerasan chorion ini akibat terganggunya aktivitas
enzim penetasan yang disebabkan oleh suhu air media inkubasi terlalu tinggi. Pemberian
kejutan panas pada telur dapat pula menyebabkan individu-individu yang dihasilkan
memperlihatkan bentuk tubuh yang abnormal seperti ekor yang pendek, tidak berekor
atau memiliki ekor yang bengkok (Solar et al., 1984) dan berkromosom
haploid (Gervai et al., 1980). Embrio haploid akan mati selama penetasan
dan hanya sebagian kecil saja yaitu 0,15-0,2 % yang dapat bertahan hidup
(Purdom,
1983).
Larva cacat kemungkinan disebabkan karena
adanya gangguan pada saat pembelahan mitosis pertama yang mengakibatkan
hilangnya beberapa kromosom dan mereduksi penggandaan kromosom dalam siklus sel
berikutnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan jumlah kromosom
di dalam tubuh dan juga hilangnya beberapa informasi genetik dalam kromosom
yang hilang ataupun tereduksi tersebut (Alridge et al., 1989).
2.4
Kelangsungan
hidup
Kelangsungan
hidup ikan mas triploid dan tetraploid lebih rendah apabila dibandingkan dengan
ikan mas diploid. Hal ini kemungkinan besar akibat rendahnya kemampuan
ikan-ikan poliploid seperti triploid dan tetraploid dalam menangkap oksigen terlarut
dalam air. Kemampuan banding oxygen atau pengikatan oksigen terlarut
ikan-ikan triploid dan tetraploid sangat rendah bila
dibandingkan
dengan ikan normal (Rustidja, komunikasi personal).
Ikan-ikan poliploid seperti triploid dan
tetraploid memiliki ukuran sel yang besar dan jumlah sel yang jauh lebih banyak
bila dibandingkan dengan ikan diploid, dikarenakan pembelahan sel yang terjadi
di dalam tubuh ikan poliploid sangat tinggi dan hal ini diduga menyebabkan
proses metabolisme di dalam tubuh ikan juga akan berjalan lebih cepat, sehingga
sangat diperlukan jumlah atau kadar
oksigen
terlarut yang cukup besar. Padahal, apabila kemampuan banding oxygen ikan
terlalu rendah, maka jumlah/kadar oksigen yang diserap jauh tidak seimbang
dengan jumlah/kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk memperlancar proses
metabolisme tubuhnya. Ditambah lagi dengan adanya persaingan antar individu
untuk mengkonsumsi oksigen terlarut dalam air media pemeliharaan
yang
menyebabkan terbatasnya ketersediaan oksigen terlarut. Akibatnya, kemampuan ikan-ikan
poliploid (triploid dan tetraploid) untuk bertahan hidup sangat rendah. Kelangsungan
hidup ikan poliploid pada fase larva pertama kali makan umumnya berbeda dengan
diploid, yaitu lebih rendah bila dibandingkan dengan diploid (Thorgaard, 1992; Purdom,
1993; Santiago et al., 1993). Thorgaard (1983) melaporkan bahwa
zebrafish tetraploid terlihat sedikit dan tidak ada yang tahan hidup melebihi
larva fase kuning telur. Induksi tetraploid pada perch (Perca flavescens)
menghasilkan mortalitas yang sangat tinggi ketika larva berumur 7 hari (Cassani
et al., 1990 dan Malison et al., 1993).
Penelitian pada rainbow trout hybrid tetraploid
yang dilakukan oleh Chourrout et al. (1988) dan hybrid triploid oleh
Chourrout dan Nakayama (1987) memperlihatkan bahwa generasi kedua rainbow trout
tetraploid yang diproduksi dari persilangan induk tetraploid memiliki
kelangsungan hidup yang tinggi.
Triploid yang dihasilkan dari
persilangan betina tetraploid dan jantan diploid menghasilkan juga kelangsungan
hidup larva yang lebih baik bila dibandingkan dengan triploid yang dihasilkan dari
perlakuan penahanan peloncatan polar body II (Thorgaard, 1992).
2.5
Pertumbuhan
Ikan tetraploid memiliki ukuran dan isi
nukleus serta sel jauh lebih besar bila dibandingkan dengan diploid atau
triploid. Triploid sendiri mempunyai ukuran nukleus dan sel yang lebih besar dibandingkan
diploid, sehingga laju pertumbuhannya lebih tinggi (Fankhauser, 1945 dalam Gold,
1979; Ger et al., 1993; Tave, 1993).
Tave (1993) menyatakan bahwa ukuran sel
ikan triploid lebih besar dibandingkan dengan diploid. Nukleus berisi 33 persen
lebih allel untuk pertumbuhan dan energi yang dipergunakan untuk pertumbuhan
produksi gamet berkurang atau terhambat. Oleh karena itu, diduga pula bahwa
ikan mas tetraploid juga memiliki ukuran dan isi nukleus serta sel lebih besar
bila dibandingkan dengan triploid, terlebih lagi dengan diploid. Semakin banyak
jumlah sel menyebabkan volume sel dalam tubuh meningkat, sehingga ukuran tubuh
atau
pertumbuhan
ikan mas tetraploid semakin tinggi. Hal ini mengacu pada pendapat Needham, 1964
dalam Hoar dan Randall (1969), bahwa pertumbuhan organisme juga
merupakan proses perbanyakan jumlah sel dan peningkatan volume sel.
Suryo (1990) menjelaskan bahwa individu tetraploid
merupakan individu yang fertil dan mempunyai laju pertumbuhan yang lebih baik bila
dibandingkan dengan spesies diploid. Individu tetraploid mempunyai kemampuan di
dalam pembelahan sel yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan
normal diploid, sehingga ikan tetraploid akan mempunyai jumlah sel yang lebih
banyak jika dibandingkan dengan ikan normal.
Ikan mas triploid belum menampakkan pertumbuhan
yang maksimal. Ikan triploid akan mengalami pertumbuhan yang tinggi terutama pada
saat periode perkembangan dan atau kematangan gonad maupun masa pemijahan, karena
energi yang diperlukan untuk metabolisme perkembangan gonad ketika musim
pemijahan dipergunakan untuk pertumbuhan somatik atau tubuh. Efek konsumsi
energi dalam proses reproduksi akan menentukan perbedaan laju pertumbuhan
antara triploid dan diploid (Jiang et al., 1993).
2.5
Perkembangan gonad
Gonad ikan terletak di bagian atas
rongga tubuh, memanjang pada vertebrae rongga tubuh hingga berakhir pada lubang
genital. Tidak berkembangnya gonad ikan mas triploid dikarenakan kromosom yang
berjumlah 3 set (ganjil), selama pembelahan meiosis tidak dapat melakukan
perpasangan dengan kromosom homolognya. Pada akhirnya gonad tidak berkembang
lebih lanjut dan ikan triploid akan menjadi (Thorgaard, 1983; Chingjiang et
al.,
1986;
Goodenough, 1988; Rustidja, 1991).
Kegagalan perkembangan gonad kemungkinan
pada gilirannya mencegah munculnya efek-efek sampingan yang tidak diinginkan
pada kematangan kelamin, seperti kualitas daging yang rendah, pertumbuhan
lambat dan kematian tinggi (Thorgaard, 1983).
2.
6 Nukleolus
Nukleus akan tampak berwarna kekuningan
atau kecoklatan, sedangkan nukleoli berwarna hitam. Pewarnaan perak nitrat akan
memperlihatkan nukleolus berwarna hitam dalam nukleus yang berwarna kuning
(Phillips et al., 1986).
Perbedaan warna ini merupakan ciri khas
dari pewarna perak nitrat (AgNO3), sehingga banyak peneliti yang menyatakan
bahwa penentuan level ploidi mempergunakan pewarnaan perak nitrat (silver
staining) sangat mudah, sederhana, cepat dan dapat dipergunakan sebagai
standar untuk beberapa spesies.
Variasi jumlah nukleoli yang ditemukan
ada hubungannya dengan kemampuan pewarna AgNO3 yang hanya mewarnai nukleoli
(dalam hal ini NORs, nucleoli organizer regions) yang sedang aktif
melakukan sintesis ribosom dan atau protein sesaat sebelum dilakukan fiksasi (Gold,
1984 dan Hubbel, 1985 dalam Carman dkk., 1997). Carman et al.
(1992) mengatakan bahwa variasi yang terjadi pada jumlah maksimum kemungkinan
disebabkan fusi dan fisi dari bentuk nukleoli tunggal atau tiga, karena beberapa
proses fisiologis yang terjadi selama siklus sel. Variasi ini adalah merupakan
faktor sulit pada interpretasi level ploidi pada pengamatan individu-individu
yang digunakan. Variasi jumlah maksimum nukleoli per sel pada common carp (Cyprinus
carpio) diploid dan triploid berhubungan dengan umurnya.
Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa
ikan diploid memiliki 1 dan atau 2 nukleoli dalam setiap selnya, triploid
memiliki 1, 2 dan atau 3 nukleoli dan tetraploid memiliki 1,2, 3 dan atau 4
nukleoli. Phillips et al. (1986) mengemukakan, individu haploid
mempunyai 1 nukleolus per sel, diploid mempunyai 1 atau 2 nukleoli per sel dan
triploid mempunyai 1, 2 atau 3 nukleoli per sel. Setiap satu set kromosom
haploid mengandung satu kromosom dengan satu NOR, sedangkan inti diploid normal
mengandung dua nucleoli (Fankhauser dan Humphrey, 1943) dalam Thorgaard,
1983; Oshiro dan Carman, 1991). Carman dkk. (1997) menunjukkan hasil melalui
preparasi NORs mempergunakan perak nitrat, ditemukan 1, 2, 3 atau 4 kromosom
yang mempunyai NOR, NORs bearing chromosome (data tidak dipublikasikan).
NOR merupakan daerah dimana terdapat gen-gen yang mengatur rRNA dan memberikan
bentuk pada nukleolus. Daerah ini terletak pada daerah penyempitan kedua (secondary
contriction) yang mengandung gen kode 18 S dan 28 S rRNA (Zwarzacher dan
Wachtler, 1983 dan Kimball, 1994).
III. PENUTUP
Manipulasi
kromosom mungkin dilakukan selama siklus nukleus dalam pembelahan sel, dasarnya
adalah penambahan atau pengurangan set haploid atau diploid. Pada ikan dan
hewan lainnya dengan fertilisasi eksternal, proses-proses buatan dapat
dilakukan untuk salah satu gamet sebelum fertilisasi atau telur terfertilisasi
pada beberapa periode selama formasi pada zigot (Purdom,
1983).
Salah
satu metode manipulasi kromosom adalah poliploidisasi. Poliploidisasi pada ikan
dapat dilakukan melalui perlakuan secara fisik seperti kejutan (shock) suhu
panas maupun dingin, hydrostatic pressure atau secara kimiawi untuk
mencegah peloncatan polar body I1
atau pembelahan sel pertama pada telur terfertilisasi (Thorgaard, 1983; Yamazaki,
1983; Carman et'al., 1992; Johnstone, 1993; Hussain, 1996; Shepperd dan
Bromage, 1996). Masingmasing memiliki intensitas, lama dan waktu perlakuan yang
kritis dan perlu evaluasi lebih lanjut, sedangkan tiap spesies mungkin memiliki
perbedaan dalam merespons masingmasing perlakuan tersebut (Johnstone, 1993).
Peloncatan polar body I1 terjadi 3-7 menit setelah fertilisasi pada beberapa
spesies (Carman et al., 1991), sedangkan pembelahan mitosis pada ikan
mas terjadi 2040 menit setelah fertilisasi (Komen et al., 1990).
Kejutan
suhu selain murah dan mudah, juga efisien dapat dilakukan dalam jumlah banyak
(Rustidja, 1991). Kejutan panas mudah dan sering digunakan untuk aplikasi poliploidisasi
pada beberapa spesies ikan. Komen (1990) menyatakan, suhu panas lebih efektif
untuk mencegah terlepasnyapolar body 11. Thorgaard (1983) menjelaskan, pendekatan
praktis untuk induksi poliploidi melalui kejutan panas merupakan perlakuan
aplikatif sesaat setelah fertilisasi (untuk induksi triploidi) atau sesaat
setelah pembelahan pertama (untuk induksi tetraploidi) pada suhu sublethal. Tiga
ha1 yang perlu diperhatikan dalam perlakuan kejutan suhu pada telur, yaitu
waktu awal kejutan, suhu kejutan, dan lama kejutan (Don dan Avtalion, 1986).
Nilai parameter tersebut berbeda untuk setiap spesies (Pandian dan Varadaraj,
1988).
Kejutan
suhu 3 menit setelah fertilisasi dapat menghasilkan gynogenesis meiosis pada
ikan mas (Prastowo, 1994) dan triploid massal pada Clarias batrachusl.
(Rustidja, 1993;Rustidja etal., 1993).Kejutan suhu panas 40°C umum
digunakan pada ikan mas (Komen et al., 1990; Sumantadinata, 1990 dalarn
Lukman, 1991; Bongers et al., 1993) dengan lama kejutan bervariasi,
yaitu antara 1.5-2 menit (Sumantadinata, 1990 dalam Lukman, 1991), 2
menit (Gustiano dkk., 1990; Bongers etal., 1993) atau 1-3 menit
(Komen et al., 1990). Ikan mas hasil
gynogenesis
mitosis dihasilkan melalui kejutan panas. Perbedaan Keberhasilan Tingkat
Poliploidisasi lkan Mas menit
setelah fertilisasi (Triwahyudi, 1994) atau 281.30 menit setelah fertilisasi
(Komen et al., 1990).
DAFTAR PUSTAKA
Alridge,
F. J., Marston, R. Q. dan Shireman, J. V. (1989) Induced Triploids and Tetraploids
in Bighead Carp, Hypophthalmichthys nobilis. Verified by Multi-Embryo
Cytofluorometric Analysis. Aquaculture, 87: 121-131.
Bidwell,
C. A., Chrisman, C. L. dan Libey, G. S. (1986) Polyploidy Induced by Heat Shock
in Channel Catfish. Aquaculture, 57: 362.
Blaxter,
J. H. S. (1969) Development: Eggs and Larvae. In Fish Physiology. Volume
III (Eds. W. S. Hoar dan J. H. Randall). Academic Press Inc., New York, USA.
Carman,
O. (1992) Chromosome Set Manipulation in Some Warmwater Fish. Doctoral
Thesis, Tokyo University of Fisheries. 131 p.
Carman,
O., Alimuddin, Sastrawibawa, S. Dan Arfah, H. (1997) Determinasi Kromosom dan
Nukleoli Kelamin pada Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Zuriat, Volume
8, Nomor 2. Hal: 83-89.
Carman,
O., Oshiro, T. dan Takashima, F. (1991) Estimation of Effective Condition for
Induction of Triploidy in Goldfish, Carassius auratus Linnaeus. Journal
of The Tokyo University of Fisheries, Volume 78, Nomor 2. pp. 127-135.
Carman,
O., Oshiro, T. dan Takashima, F. (1992) Variation in The Maximum Number of
Nucleoli in Diploid and Triploid Common Carp. Nippon Suisan Gakkaishi,
58 (12) Formerly Bull. Japan. Soc. Sci. Fish. pp. 2303-2309.
Cassani,
J. R., Maloney, D. R., Allaire, H. P. Dan Kerby, J. H. (1990) Problems Associated
with Tetraploid Induction and Survival in Grass Carp, Ctenopharyngodon
idella. Aquaculture, 88: 273-284.
Chingjiang,
W., Yuzhen, Y. dan Rongde, C. (1986) Genome Manipulation in Carp (Cyprinus
carpio L.). Aquaculture, 54: 57-61.
Don,
J. dan. Avtalion, R. R. (1986) The Induction of Triploidy in Oreochromis
aureus by Heat Shock. Theor. Appl. Genet., 72: 186-192.
Effendie,
M. I. (1997) Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
163 hal.
Ger,
G. C., Zan, Y. L., Sun, S. S. dan Ju, B. S. (1993) Inducing Polyploidy in
Loach. Aquaculture, 111: 316.
Gervei,
J., Marian, T., Krasznai, Z., Nagy, A. dan Csanyi, V. (1980) Occurrence of
Aneuploidy in Radiation Gynogenesis of Carp, Cyprinus carpio Linn.
Laboratory of Behaviour Genetics, Eutuos University, Hungary.
Gold,
J. R. (1979) Cytogenetics. In Fish Physiology, Volume VIII (Eds. W. S.
Hoar, D. J. Randall dan J. R. Brett), pp. 353- 405. Academic
Press Inc., New York USA.
Goodenough,
U (1988) Genetika. Erlangga, Jakarta. 144 hal.
Gustiano,
R., Hardjamulia, A. dan Subagyo (1987) Lama Waktu Radiasi Sinar Ultra Violet
Pada Sperma Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Bulletin Penelitian
Perikanan Darat, Volume 6, Nomor 2. Hal. 38-41.
Hoar,
W. S., Randall, D. J. dan Brett, J. R. (1979) Fish Physiology, Volume
VIII. Academic Press Inc., New York, USA. 477 p.
Jiang,
W., Li, G., Xu, G., Lin, Y. dan Qing, N. (1993) Growth of The Induced Triploid Pearl
Oyster, Pinctada martensii D. Aquaculture, 111: 245-253.
Johnstone,
R. (1985) Induction of Triploidy in Atlantic Salmon by Heat Shock. Aquaculture,
49: 133-139.
Johnstone, R. (1993) Optimisation of Ploid Manipulation
Procedures. In Genetics in Aquaculture and Fisheries Management (Eds.
D. Penman, N. Roongratri dan B. McAndrew), 164 p. AADCP Workshop Proceedings,
University of Stirling, Scotland.
Kimball,
J. (1994) Biologi. Terjemahan S. S. Tjitrosomo dan N. Sugiri, Edisi V,
Jilid I. Penerbit Erlangga, Jakarta. 333 hal.
Komen,
J. (1990) Clones of Common Carp (Cyprinus carpio L.). New
Perspectives in Fish Research. PhD Thesis, Agricultural University
Wageningen, Netherlands. pp. 1-44.
Landau,
M. (1992) Introduction to Aquaculture. John Wiley & Sons, New York,
USA. pp. 210-226.
Mair,
G. C. (1993) Chromosome-Set Manipulation in Tilapia-Techniques, Problems and
Prospects. Aquaculture, 111: 227-244.
Malison,
J. A., Kayes, T. B., Held, J. A., Barry, T. P. dan Amundson, C. H. (1993) Manipulation
of Ploidy in Yellow Perch (Perca flavescens) by Heat Shock, Hydrostatic
Pressure Shock and Spermatozoa Inactivation. Aquaculture, 110: 229-242.
Minrong,
C., Xinqi, Y., Xiaomu, Y., Hanqin, L., Yonglan, Y., Kang, Y., Peilin, L. Dan Hongxi,
C. (1993) Heterogenetic Tetraploids from A Cross of Japanese Phytophagous
Crucian Carp Females (Carassius auratus cuvieri) and Red Crucian Carp
Males (Carassius auratus red var.). Aquaculture, 111: 317-318.
Oshiro,
T. dan Carman, O. (1991) Effect of Triploidization on The Number of
Nucleolar Organizer Region and Nucleoli in Carp. Improvement of
Inland Aquaculture. Nodai Centre for International Programs, Tokyo
University of Aquaculture. pp. 83-84.
Pandian,
T. J. dan Varadaraj, K. (1988) Techniques for Producing All Male and All
Triploid Oreochromis mossambicus. In The Second International
Symposium on Tilapia in Aquaculture (Eds. R. S. V. Pullin, T. Bhukaswan,
K. Tongthai dan J. Maclean), pp. 243-249. ICLARM, Conference Proceedings, 15:
623 p. Departement of Fisheries, Bangkok, Thailand and International Center for
Living AquaticResources Management, Manila, Philippines.
Pandian,
T. J. dan Varadaraj, K. (1990) Techniques to Produce 100 % Male Tilapia. NAGA,
The ICLARM Quarterly, Volume 13, Nomor 34. pp. 3-5.
Phillips,
R. B., Zajicek, K. D., Ihssen, P. E. Dan Johnson, O. (1986) Application of
Silver Staining to The Identification of Triploid Fish Cells. Aquaculture,
54: 313-319.
Purdom,
C. E. (1983) Genetic Engineering by The Manipulation of Chromosomes. Aquaculture,
33: 287-300.
Purdom,
C. E. (1993) Genetics and Fish Breeding. Chapman & Hall, London. 277
p.
Richter,
C. J. J. dan Rustidja (1985) Pengantar Ilmu Reproduksi Ikan. Nuffic/ Unibraw/Luw/Fish,
Malang. 83 hal.
Rustidja
(1991) Aplikasi Manipulasi Kromosom pada Program Pembenihan Ikan.
Makalah dalam Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional V, Jakarta. 23
hal.
Santiago,
L. P., Penman, D. J., Myers, J., Powell, S., Roongratri, N., Suwannarak, C. Dan
Johnstone, R. (1993) Triploidy Induction in Tilapia (Oreochromis niloticus L.)
Using Nitrous Oxide. In Genetics in Aquaculture and Fisheries
Management (Eds. D. Penman, N. Roongratri dan B. McAndrew), 164 p. AADCP
Workshop Proceedings University of Stirling, Scotland.
Shepherd,
C. J. dan Bromage, N. R. (1996) Intensive Fish Farming. Great Britain by
Hartnolls Ltd. Bodman, Cornwall. 403 p.
Solar,
I. I., Donaldson, E. M. dan Hunter, G. A. (1984) Induction of Triploidy in
Rainbow Trout (Salmo Gairdneri Richardson) by Heat Shock and
Investigation of Early Growth. Aquaculture, 42: 57-67.
Sumantadinata,
K. (1991) Teknologi Produksi Benih Unggul Ikan Mas (Cyprinus carpio L.).
Fenotip Generasi Pertama Beberapa Strain Ikan Mas Hasil Pemurnian dengan Metode
Gynogenesis. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 47
hal.
Suryo
(1990) Sitogenetika. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 442 hal.
Takai,
A. dan Ojima, Y. (1982) The Assigment of Nucleolar Organizer Region in The Chromosome
of The Carp The Funa and Their Hybrids (Cyprinidae, Pisces). Proceeding
Japan Academic Series B., 58: 303-306.
Tave,
D. (1993) Genetics for Fish Hatchery Managers. Avi. Publ. Co. Inc.,
Wesport, Connecticut. 368 p.
Thorgaard,
G. H. (1983) Chromosome Set Manipulation and Sex Control in Fish. In Fish
Physiology, Volume IX, Part B (Eds. W. S. Hoar, D. J. Randall dan E. M. Donaldson),
pp. 405-434. Academic Press Inc., New York, USA.
Thorgaard,
G. H. (1992) Application of Genetic Technologies to Rainbow Trout. Aquaculture,
100: 85-97. Woynarovich, E. dan Horvath, L. (1980) The Artificial
Propagation of Warmwater Finfishes A Manual for Extension, FAO. 185 p.
Yamazaki,
F. (1983) Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture, 33: 329-354.
Yatim,
W. (1990) Reproduksi dan Embryologi. Penerbit Tarsito, Bandung. 330 hal.
Zchwarzacher,
H. G. dan Wachtler (1983) Nucleolar Organizer Region and Nucleolus. Hum. Gen.,
63: 87-89.
TUGAS INDIVIDU GENETIKA DAN PEMULIAAN IKAN
POLIPLOIDISASI
IKAN MAS (Cyprinus carpio L.)
Oleh:
LOSITA
SUSTRI
0 7 0 4 1 2 1 0 6 6
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar