Senin, 29 Oktober 2012

POLIPLOIDISASI IKAN MAS (Cyprinus carpio L.)


I.     PENDAHULUAN

Pengelolaan budidaya ikan (khususnya ikan mas) perlu memperhatikan efisiensi dan produktivitas usaha serta kualitas ikan. Hal ini harus diimbangi dengan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas induk maupun benih ikan mas. Saat ini disinyalir telah terjadi penurunan kualitas induk maupun benih ikan mas yang dipelihara oleh petani ikan. Beberapa usaha maupun penelitian telah dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas (produksi) dan perbaikan serta peningkatan kualitas genetik ikan mas seperti program seleksi, manipulasi jenis kelamin melalui perlakuan hormonal maupun manipulasi kromosom.Teknik-teknik manipulasi kromosom telah diterangkan oleh para peneliti sejak tahun 1970-an dan teknik ini potensial untuk sex control dan manipulasi genome (Thorgaard, 1983).
Manipulasi kromosom mungkin dilakukan selama siklus nukleus dalam pembelahan sel, dasarnya adalah penambahan atau pengurangan set haploid atau diploid. Pada ikan dan hewan lainnya dengan fertilisasi eksternal, prosesproses buatan (artificial) dapat dilakukan untuk salah satu gamet sebelum fertilisasi atau telur terfertilisasi pada beberapa periode selama formasi pada zigot (Purdom, 1983).
Poliploidisasi merupakan salah satu metode manipulasi kromosom untuk perbaikan dan peningkatan kualitas genetik ikan guna menghasilkan benih-benih ikan yang mempunyai keunggulan, antara lain: pertumbuhan cepat, toleransi terhadap lingkungan dan resisten terhadap penyakit. Induksi poliploid dalam budidaya ikan sangat menarik perhatian masyarakat petani ikan maupun para peneliti di bidang perikanan. Poliploidisasi pada ikan dapat dilakukan melalui perlakuan secara fisik seperti melakukan kejutan (shocking) suhu baik panas maupun dingin, pressure (hydrostatic pressure) dan atau secara kimiawi untuk mencegah peloncatan polar body II atau pembelahan sel pertama pada telur terfertilisasi (Thorgaard, 1983; Yamazaki, 1983; Carman et al., 1992; Shepperd dan Bromage, 1996).
Thorgaard (1983) menjelaskan, pendekatan praktis untuk induksi poliploidi melalui kejutan panas merupakan perlakuan aplikatif sesaat setelah fertilisasi (untuk induksi triploidi) atau sesaat setelah pembelahan pertama (untuk induksi tetraploidi) pada suhu lethal. Kejutan suhu selain murah dan mudah juga efisien dapat dilakukan dalam jumlah banyak (Rustidja, 1991). Kejutan panas merupakan teknik perlakuan fisik yang paling umum digunakan untuk menghasilkan poliploidi pada ikan (Don dan Avtalion, 1986).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perlakuan untuk menghasilkan poliploidisasi pada ikan juga mempengaruhi laju penetasan, abnormalitas, kelangsungan hidup dan laju pertumbuhan ikan. Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam perlakuan kejutan suhu pada telur, yaitu waktu awal kejutan, suhu kejutan dan lama kejutan (jelas sangat rendah daya hidupnya, tetapi Don dan Avtalion, 1986). Nilai parameter tersebut berbeda untuk setiap spesies (Pandian dan Varadaraj, 1988). Tave (1993) melaporkan, triploidisasi akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan dan sterilitas. Ukuran sel ikan triploid lebih besar dibandingkan dengan diploid, nukleus berisi 33 % lebih allel untuk pertumbuhan dan energi untuk pertumbuhan produksi gamet berkurang atau terhambat. Ikan triploid mempunyai gonadosomatic index yang lebih rendah bila dibandingkan dengan diploid (Mair, 1993).
Keuntungan triploid adalah dapat mengontrol overpopulate, membuat populasi monosex, memacu pertumbuhan dan kelulushidupan serta memiliki pertumbuhan lebih cepat dari diploid, karena energi yang dipergunakan untuk perkembangan gonad pada diploid dipergunakan untuk pertumbuhan somatik pada triploid (Thorgaard, 1983).
Tetraploid terlihat dapat dibesarkan untuk kematangan kelamin dan dipergunakan dalam memproduksi ikan triploid melalui persilangan dengan diploid normal dan androgenetik pada telur-telur yang diradiasi dengan sinar-γ (Purdom, 1993 dan Santiago et al., 1993). Valenti (1975) dalam Thorgaard (1983) menemukan beberapa kemungkinan tetraploid di antara telur Tilapia aurea yang diperlakukan dengan kejutan dingin. Ikan-ikan tersebut lebih besar dari kontrol dan triploid pada umur 14 minggu.
Studi kromosom dan nukleoli pada ikan penting dilakukan, selain dapat dipergunakan dalam uji poliploidisasi juga banyak bermanfaat dalam sitotaksonomi untuk menduga hubungan filogenetik beberapa spesies ikan (Miyaki et al., 1997 dalam Carman dkk., 1997). Metode penghitungan jumlah nukleolus merupakan metode yang mudah dan relatif murah serta mempunyai peluang yang besar untuk diterapkan pada berbagai spesies ikan. Metode ini hanya memerlukan sedikit jaringan dan semua sumber jaringan dapat dipergunakan (Philips et al., 1986). Penentuan ploidi beberapa sampel ikan dapat dibuat hanya dalam waktu singkat dan sampel dapat diamati tanpa membunuh ikan (Carman, 1992).
II.  ISI

2.1 Poliploidisasi
Ploidisasi melalui penghitungan jumlah nukleolus dengan perlakuan kejutan suhu 40°C selama 1,5 menit yang menghasilkan triploid sebesar 70 % dan tetraploid sebesar 60 % menunjukkan bahwa perlakuan telah efektif untuk menghasilkan poliploidisasi pada ikan mas, akan tetapi masih belum optimal.
Keberhasilan poliploidisasi sangat dipengaruhi oleh suhu kejutan, waktu kejutan dan lama kejutan, seperti disampaikan oleh Don dan Avtalion (1986) dan tergantung juga pada umur dan kualitas (kematangan) telur (Pandian dan Varadaraj, 1990). Proses triploidisasi pada ikan prinsipnya adalah mencegah atau menahan terjadinya peloncatan polar body II dari telur atau pembelahan meiosis II, sedangkan tetraploidisasi adalah perlakuan kejutan untuk mencegah pembelahan pertama (first cleavage) atau sebelum pembelahan mitosis I. Kejutan sebaiknya dipergunakan setelah kromosom bereplikasi dan nukleus zigot kira-kira terbagi menjadi dua. (Bidwell et al., 1985; Johnstone, 1993; Tave, 1993; Shepperd dan Bromage, 1996). Periode dengan sensitif tinggi untuk menghasilkan ikan tetraploid menggunakan perlakuan kejutan panas dicapai pada waktu menutupnya konjugasi pronuklei betina dan jantan serta lysisnya membran nuklear yang mencapai metafase mitosis I (Minrong et al., 1993). Peloncatan polar body II pada beberapa spesies ikan terjadi antara 3-7 menit setelah fertilisasi (Carman et al., 1991). Komen (1990) mengatakan bahwa peloncatan polar body II terjadi pada 5 menit setelah fertilisasi, sedangkan proses mitosis terjadi pada 30 menit setelah fertilisasi.
2.2  Tahap-Tahap Proses Poliploidi Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Ø Pemijahan dan stripping induk ikan mas
Pemijahan ikan dilakukan dengan cara memasangkan induk ikan mas jantan dan betina di dalam kolam pemijahan ikan dengan perbandingan jantan dan betina adalah 3:1. Selanjutnya ikan mas akan melakukan perkawinan secara alami dan biasanya baru berlangsung pada malam hari (tengah malam) dengan selang waktu 11-18 jam setelah dipasangkan.
Setelah nampak tanda-tanda ikan mulai memijah, induk betina dan jantan ikan mas ditangkap dan dilakukan pengurutan (stripping) untuk mendapatkan telur dan sperma ikan mas. Telur-telur yang diperoleh ditampung dalam petridish dan sperma ditampung dalam tabung reaksi yang berisi larutan NaCl Fisiologis dengan pengenceran 10 kali. Kemudian larutan sperma disimpan sementara dalam refrigerator suhu 4°C.
Ø Perlakuan poliploidisasi
Perlakuan poliploidisasi dilakukan melalui tahapan-tahapannya sebagai berikut: telur ikan mas dalam petridish hasil stripping diambil mempergunakan spatula dan diletakkan dalam petridish bersih dan kering. Selanjutnya, larutan sperma diteteskan pada telur sebanyak 2-3 tetes dan dilakukan pengadukan (dicampur) secara perlahan mempergunakan bulu ayam. Kemudian, campuran larutan sperma dan telur ditambahkan air bersih sebanyak 3-4 tetes untuk melangsungkan proses fertilisasi telur dan secara perlahan-lahan diaduk mempergunakan bulu ayam. Disebar pada masing-masing saringan yang telah ditempatkan dalam wadah berisi larutan urea dan garam 3:4 untuk 1 liter air. Tahap selanjutnya, telur-telur terfertilisasi yang termasuk dalam kelompok triploidisasi, 3 menit setelah fertilisasi dilakukan perlakuan kejutan suhu panas 40°C selama 1,5 menit. Selanjutnya telur tersebut dimasukkan dalam bak inkubasi. Telurtelur terfertilisasi dalam kelompok tetraploidisasi, 29 menit setelah fertilisasi dilakukan perlakuan kejutan suhu panas 40°C selama 1,5 menit dan kemudian dimasukkan bak penetasan (inkubasi) telur.
Ø Penetasan dan pemeliharaan larva
Penetasan telur dilakukan dengan cara meletakkan telur-telur terfertilisasi dalam saringan yang telah diperlakukan triploidisasi dan tetraploidisasi serta kontrol dalam bak penetasan yang telah diberikan methylen blue. Suhu air diatur 28°C.
Setelah seminggu lamanya, larva ikan dipindahkan ke dalam akuarium. Selama pemeliharaan, pakan yang diberikan adalah pakan alami Artemia sp., cacing Tubifex sp. Dan pakan pellet yang diberikan secara bertahap.
2.3    Laju penetasan
Umumnya persentase penetasan ikan berkisar antara 50-80 % (Richter dan Rustidja, 1985). Rendahnya laju penetasan telur ikan mas ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: kualitas telur dan kualitas air media inkubasi (penetasan).
Tipe telur ikan mas yang bersifat melekat (adhesif) memungkinkan sebagai satu faktor kualitas telur yang menyebabkan rendahnya laju penetasan pada telur ikan mas. Sifat telur ikan mas yang melekat, membutuhkan tempat
pelekatan atau substrat yang baik. Biasanya untuk ikan mas pelekatan telur yang baik dapat dilakukan di rerumputan dan akar-akar tanaman air ataupun substrat buatan seperti kakaban (ijuk). Blaxter (1969) menyatakan bahwa perbedaan substrat sebagai inkubasi dapat berpengaruh terhadap perkembangan pertama dan fisiologis keturunan. Telur ikan mas yang bersifat adhesif yaitu melekat pada substrat atau antara telur yang satu dengan telur yang lain, sering mengakibatkan telur-telur tersebut tidak dapat menetas karena difusi oksigen menjadi berkurang (Sumantadinata, 1991). Kekurangan oksigen merupakan salah satu penyebab adanya kematian pada telur atau embrio yang sedang berkembang (Woynarovich dan Horvath, 1980).
Homogenitas perkembangan telur adalah salah satu faktor kualitas telur yang merupakan aspek tersendiri dalam menunjang keberhasilan penetasan pada telur ikan mas. Gustiano dkk. (1987) melaporkan bahwa adanya variasi nilai laju penetasan disebabkan oleh perkembangan telur yang tidak seragam kematangan gonadnya.
Fase gastrula merupakan fase yang rawan pada perkembangan telur, sehingga kematian tertinggi akan terjadi pada fase ini. Blaxter (1969) menyatakan, pengaruh penting pada kelangsungan hidup keturunan pada tingkat individu dan spesies adalah kondisi inkubasi, fekunditas dan ukuran telur.
Pembelahan sel memerlukan suasana lingkungan yang optimum. Banyak faktor yang mempengaruhi pembelahan, tetapi yang penting adalah suhu dan pH medium (Yatim, 1990 dan Effendie, 1997). Suhu untuk penetasan telur ikan mas yang ideal adalah berkisar antara 20-25°C (Landau, 1992), sedangkan Blaxter
(1969) menyatakan, suhu 14-20°C dan pH 7,9-9,6 merupakan kondisi optimum untuk penetasan telur.
Suhu air inkubasi mempengaruhi reaksi enzimatis di dalam telur yang berperanan dalam melemahkan lapisan chorion telur ikan. Lemah dan pecahnya chorion akan mengakibatkan telur menetas dan embrio keluar dari cangkangnya menjadi larva. Jika embrio dalam chorion (zona radiata dan selaput jelly) mulai menetas, suatu enzim dihasilkan di dalam daerah kepala ventral. Enzim penetasan ini dilepaskan di dalam ruang perivitelline dan melemahkan chorion sampai akhirnya lapisan chorion ini pecah (Richter dan Rustidja, 1985).
Laju penetasan telur ikan mas triploid maupun tetraploid jauh lebih rendah dibandingkan dengan ikan mas diploid. Hal ini dimungkinkan akibat pengaruh perlakuan kejutan suhu panas yang diberikan pada telur dalam proses poliploidisasi. Tave (1993) mengemukakan bahwa mortalitas yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh beberapa macam efek merugikan dari perlakuan kejutan pada sitoplasma telur. Perlakuan kejutan suhu dapat mengakibatkan kerusakan pada benang-benang spindel yang terbentuk saat proses pembelahan sel dalam telur. Kejutan suhu dan tekanan mengakibatkan rusaknya mikrotubulus yang membentuk spindel selama pembelahan (Dustin, 1977 dalam Gervai et al., 1980). Rieder dan Bajer (1978) dalam Bidwell et al. (1985) berpendapat bahwa kejutan panas menyebabkan depolimerisasi pada polimer tubulin dalam mikrotubulus yang essensial dalam pembentukan spindel. Pandian dan Varadaraj (1990) menyatakan, beberapa telur yang diberi kejutan panas mati sebelum atau
sesaat setelah menetas. Percobaan triploidisasi pada ikan salmon salar memperlihatkan kematian selama percobaan yang terjadi pada saat penetasan telur dan pemeliharaan (Johnstone, 1985).
Rendahnya laju penetasan pada ikan mas triploid dan tetraploid ini juga disebabkan tingginya larva cacat yang dihasilkan setelah proses penetasan. Rieder dan Bajer (1978) dalam Bidwell et al. (1985) mengemukakan bahwa larva cacat dapat disebabkan oleh lapisan terluar dari telur (chorion) yang mengalami pengerasan, sehingga embrio akan sulit untuk keluar. Setelah chorion dapat dipecahkan, maka embrio akan lahir dengan keadaan tubuh yang cacat. Pengerasan chorion ini akibat terganggunya aktivitas enzim penetasan yang disebabkan oleh suhu air media inkubasi terlalu tinggi. Pemberian kejutan panas pada telur dapat pula menyebabkan individu-individu yang dihasilkan memperlihatkan bentuk tubuh yang abnormal seperti ekor yang pendek, tidak berekor atau memiliki ekor yang bengkok (Solar et al., 1984) dan berkromosom haploid (Gervai et al., 1980). Embrio haploid akan mati selama penetasan dan hanya sebagian kecil saja yaitu 0,15-0,2 % yang dapat bertahan hidup (Purdom,
1983).
Larva cacat kemungkinan disebabkan karena adanya gangguan pada saat pembelahan mitosis pertama yang mengakibatkan hilangnya beberapa kromosom dan mereduksi penggandaan kromosom dalam siklus sel berikutnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan jumlah kromosom di dalam tubuh dan juga hilangnya beberapa informasi genetik dalam kromosom yang hilang ataupun tereduksi tersebut (Alridge et al., 1989).
2.4    Kelangsungan hidup
Kelangsungan hidup ikan mas triploid dan tetraploid lebih rendah apabila dibandingkan dengan ikan mas diploid. Hal ini kemungkinan besar akibat rendahnya kemampuan ikan-ikan poliploid seperti triploid dan tetraploid dalam menangkap oksigen terlarut dalam air. Kemampuan banding oxygen atau pengikatan oksigen terlarut ikan-ikan triploid dan tetraploid sangat rendah bila
dibandingkan dengan ikan normal (Rustidja, komunikasi personal).
Ikan-ikan poliploid seperti triploid dan tetraploid memiliki ukuran sel yang besar dan jumlah sel yang jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan ikan diploid, dikarenakan pembelahan sel yang terjadi di dalam tubuh ikan poliploid sangat tinggi dan hal ini diduga menyebabkan proses metabolisme di dalam tubuh ikan juga akan berjalan lebih cepat, sehingga sangat diperlukan jumlah atau kadar
oksigen terlarut yang cukup besar. Padahal, apabila kemampuan banding oxygen ikan terlalu rendah, maka jumlah/kadar oksigen yang diserap jauh tidak seimbang dengan jumlah/kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk memperlancar proses metabolisme tubuhnya. Ditambah lagi dengan adanya persaingan antar individu untuk mengkonsumsi oksigen terlarut dalam air media pemeliharaan
yang menyebabkan terbatasnya ketersediaan oksigen terlarut. Akibatnya, kemampuan ikan-ikan poliploid (triploid dan tetraploid) untuk bertahan hidup sangat rendah. Kelangsungan hidup ikan poliploid pada fase larva pertama kali makan umumnya berbeda dengan diploid, yaitu lebih rendah bila dibandingkan dengan diploid (Thorgaard, 1992; Purdom, 1993; Santiago et al., 1993). Thorgaard (1983) melaporkan bahwa zebrafish tetraploid terlihat sedikit dan tidak ada yang tahan hidup melebihi larva fase kuning telur. Induksi tetraploid pada perch (Perca flavescens) menghasilkan mortalitas yang sangat tinggi ketika larva berumur 7 hari (Cassani et al., 1990 dan Malison et al., 1993).
Penelitian pada rainbow trout hybrid tetraploid yang dilakukan oleh Chourrout et al. (1988) dan hybrid triploid oleh Chourrout dan Nakayama (1987) memperlihatkan bahwa generasi kedua rainbow trout tetraploid yang diproduksi dari persilangan induk tetraploid memiliki kelangsungan hidup yang tinggi.
Triploid yang dihasilkan dari persilangan betina tetraploid dan jantan diploid menghasilkan juga kelangsungan hidup larva yang lebih baik bila dibandingkan dengan triploid yang dihasilkan dari perlakuan penahanan peloncatan polar body II (Thorgaard, 1992).
2.5    Pertumbuhan
Ikan tetraploid memiliki ukuran dan isi nukleus serta sel jauh lebih besar bila dibandingkan dengan diploid atau triploid. Triploid sendiri mempunyai ukuran nukleus dan sel yang lebih besar dibandingkan diploid, sehingga laju pertumbuhannya lebih tinggi (Fankhauser, 1945 dalam Gold, 1979; Ger et al., 1993; Tave, 1993).
Tave (1993) menyatakan bahwa ukuran sel ikan triploid lebih besar dibandingkan dengan diploid. Nukleus berisi 33 persen lebih allel untuk pertumbuhan dan energi yang dipergunakan untuk pertumbuhan produksi gamet berkurang atau terhambat. Oleh karena itu, diduga pula bahwa ikan mas tetraploid juga memiliki ukuran dan isi nukleus serta sel lebih besar bila dibandingkan dengan triploid, terlebih lagi dengan diploid. Semakin banyak jumlah sel menyebabkan volume sel dalam tubuh meningkat, sehingga ukuran tubuh atau
pertumbuhan ikan mas tetraploid semakin tinggi. Hal ini mengacu pada pendapat Needham, 1964 dalam Hoar dan Randall (1969), bahwa pertumbuhan organisme juga merupakan proses perbanyakan jumlah sel dan peningkatan volume sel.
Suryo (1990) menjelaskan bahwa individu tetraploid merupakan individu yang fertil dan mempunyai laju pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan dengan spesies diploid. Individu tetraploid mempunyai kemampuan di dalam pembelahan sel yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan normal diploid, sehingga ikan tetraploid akan mempunyai jumlah sel yang lebih banyak jika dibandingkan dengan ikan normal.
Ikan mas triploid belum menampakkan pertumbuhan yang maksimal. Ikan triploid akan mengalami pertumbuhan yang tinggi terutama pada saat periode perkembangan dan atau kematangan gonad maupun masa pemijahan, karena energi yang diperlukan untuk metabolisme perkembangan gonad ketika musim pemijahan dipergunakan untuk pertumbuhan somatik atau tubuh. Efek konsumsi energi dalam proses reproduksi akan menentukan perbedaan laju pertumbuhan antara triploid dan diploid (Jiang et al., 1993).
2.5 Perkembangan gonad
Gonad ikan terletak di bagian atas rongga tubuh, memanjang pada vertebrae rongga tubuh hingga berakhir pada lubang genital. Tidak berkembangnya gonad ikan mas triploid dikarenakan kromosom yang berjumlah 3 set (ganjil), selama pembelahan meiosis tidak dapat melakukan perpasangan dengan kromosom homolognya. Pada akhirnya gonad tidak berkembang lebih lanjut dan ikan triploid akan menjadi (Thorgaard, 1983; Chingjiang et al.,
1986; Goodenough, 1988; Rustidja, 1991).
Kegagalan perkembangan gonad kemungkinan pada gilirannya mencegah munculnya efek-efek sampingan yang tidak diinginkan pada kematangan kelamin, seperti kualitas daging yang rendah, pertumbuhan lambat dan kematian tinggi (Thorgaard, 1983).
2. 6 Nukleolus
Nukleus akan tampak berwarna kekuningan atau kecoklatan, sedangkan nukleoli berwarna hitam. Pewarnaan perak nitrat akan memperlihatkan nukleolus berwarna hitam dalam nukleus yang berwarna kuning (Phillips et al., 1986).
Perbedaan warna ini merupakan ciri khas dari pewarna perak nitrat (AgNO3), sehingga banyak peneliti yang menyatakan bahwa penentuan level ploidi mempergunakan pewarnaan perak nitrat (silver staining) sangat mudah, sederhana, cepat dan dapat dipergunakan sebagai standar untuk beberapa spesies.
Variasi jumlah nukleoli yang ditemukan ada hubungannya dengan kemampuan pewarna AgNO3 yang hanya mewarnai nukleoli (dalam hal ini NORs, nucleoli organizer regions) yang sedang aktif melakukan sintesis ribosom dan atau protein sesaat sebelum dilakukan fiksasi (Gold, 1984 dan Hubbel, 1985 dalam Carman dkk., 1997). Carman et al. (1992) mengatakan bahwa variasi yang terjadi pada jumlah maksimum kemungkinan disebabkan fusi dan fisi dari bentuk nukleoli tunggal atau tiga, karena beberapa proses fisiologis yang terjadi selama siklus sel. Variasi ini adalah merupakan faktor sulit pada interpretasi level ploidi pada pengamatan individu-individu yang digunakan. Variasi jumlah maksimum nukleoli per sel pada common carp (Cyprinus carpio) diploid dan triploid berhubungan dengan umurnya.
Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa ikan diploid memiliki 1 dan atau 2 nukleoli dalam setiap selnya, triploid memiliki 1, 2 dan atau 3 nukleoli dan tetraploid memiliki 1,2, 3 dan atau 4 nukleoli. Phillips et al. (1986) mengemukakan, individu haploid mempunyai 1 nukleolus per sel, diploid mempunyai 1 atau 2 nukleoli per sel dan triploid mempunyai 1, 2 atau 3 nukleoli per sel. Setiap satu set kromosom haploid mengandung satu kromosom dengan satu NOR, sedangkan inti diploid normal mengandung dua nucleoli (Fankhauser dan Humphrey, 1943) dalam Thorgaard, 1983; Oshiro dan Carman, 1991). Carman dkk. (1997) menunjukkan hasil melalui preparasi NORs mempergunakan perak nitrat, ditemukan 1, 2, 3 atau 4 kromosom yang mempunyai NOR, NORs bearing chromosome (data tidak dipublikasikan). NOR merupakan daerah dimana terdapat gen-gen yang mengatur rRNA dan memberikan bentuk pada nukleolus. Daerah ini terletak pada daerah penyempitan kedua (secondary contriction) yang mengandung gen kode 18 S dan 28 S rRNA (Zwarzacher dan Wachtler, 1983 dan Kimball, 1994).















III.   PENUTUP

Manipulasi kromosom mungkin dilakukan selama siklus nukleus dalam pembelahan sel, dasarnya adalah penambahan atau pengurangan set haploid atau diploid. Pada ikan dan hewan lainnya dengan fertilisasi eksternal, proses-proses buatan dapat dilakukan untuk salah satu gamet sebelum fertilisasi atau telur terfertilisasi pada beberapa periode selama formasi pada zigot (Purdom,
1983).
Salah satu metode manipulasi kromosom adalah poliploidisasi. Poliploidisasi pada ikan dapat dilakukan melalui perlakuan secara fisik seperti kejutan (shock) suhu panas maupun dingin, hydrostatic pressure atau secara kimiawi untuk mencegah peloncatan polar body I1 atau pembelahan sel pertama pada telur terfertilisasi (Thorgaard, 1983; Yamazaki, 1983; Carman et'al., 1992; Johnstone, 1993; Hussain, 1996; Shepperd dan Bromage, 1996). Masingmasing memiliki intensitas, lama dan waktu perlakuan yang kritis dan perlu evaluasi lebih lanjut, sedangkan tiap spesies mungkin memiliki perbedaan dalam merespons masingmasing perlakuan tersebut (Johnstone, 1993). Peloncatan polar body I1 terjadi 3-7 menit setelah fertilisasi pada beberapa spesies (Carman et al., 1991), sedangkan pembelahan mitosis pada ikan mas terjadi 2040 menit setelah fertilisasi (Komen et al., 1990).
Kejutan suhu selain murah dan mudah, juga efisien dapat dilakukan dalam jumlah banyak (Rustidja, 1991). Kejutan panas mudah dan sering digunakan untuk aplikasi poliploidisasi pada beberapa spesies ikan. Komen (1990) menyatakan, suhu panas lebih efektif untuk mencegah terlepasnyapolar body 11. Thorgaard (1983) menjelaskan, pendekatan praktis untuk induksi poliploidi melalui kejutan panas merupakan perlakuan aplikatif sesaat setelah fertilisasi (untuk induksi triploidi) atau sesaat setelah pembelahan pertama (untuk induksi tetraploidi) pada suhu sublethal. Tiga ha1 yang perlu diperhatikan dalam perlakuan kejutan suhu pada telur, yaitu waktu awal kejutan, suhu kejutan, dan lama kejutan (Don dan Avtalion, 1986). Nilai parameter tersebut berbeda untuk setiap spesies (Pandian dan Varadaraj, 1988).
Kejutan suhu 3 menit setelah fertilisasi dapat menghasilkan gynogenesis meiosis pada ikan mas (Prastowo, 1994) dan triploid massal pada Clarias batrachusl. (Rustidja, 1993;Rustidja etal., 1993).Kejutan suhu panas 40°C umum digunakan pada ikan mas (Komen et al., 1990; Sumantadinata, 1990 dalarn Lukman, 1991; Bongers et al., 1993) dengan lama kejutan bervariasi, yaitu antara 1.5-2 menit (Sumantadinata, 1990 dalam Lukman, 1991), 2 menit (Gustiano dkk., 1990; Bongers etal., 1993) atau 1-3 menit (Komen et al., 1990). Ikan mas hasil
gynogenesis mitosis dihasilkan melalui kejutan panas. Perbedaan Keberhasilan Tingkat Poliploidisasi lkan Mas menit setelah fertilisasi (Triwahyudi, 1994) atau 281.30 menit setelah fertilisasi (Komen et al., 1990).







DAFTAR PUSTAKA

Alridge, F. J., Marston, R. Q. dan Shireman, J. V. (1989) Induced Triploids and Tetraploids in Bighead Carp, Hypophthalmichthys nobilis. Verified by Multi-Embryo Cytofluorometric Analysis. Aquaculture, 87: 121-131.

Bidwell, C. A., Chrisman, C. L. dan Libey, G. S. (1986) Polyploidy Induced by Heat Shock in Channel Catfish. Aquaculture, 57: 362.

Blaxter, J. H. S. (1969) Development: Eggs and Larvae. In Fish Physiology. Volume III (Eds. W. S. Hoar dan J. H. Randall). Academic Press Inc., New York, USA.

Carman, O. (1992) Chromosome Set Manipulation in Some Warmwater Fish. Doctoral Thesis, Tokyo University of Fisheries. 131 p.

Carman, O., Alimuddin, Sastrawibawa, S. Dan Arfah, H. (1997) Determinasi Kromosom dan Nukleoli Kelamin pada Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Zuriat, Volume 8, Nomor 2. Hal: 83-89.

Carman, O., Oshiro, T. dan Takashima, F. (1991) Estimation of Effective Condition for Induction of Triploidy in Goldfish, Carassius auratus Linnaeus. Journal of The Tokyo University of Fisheries, Volume 78, Nomor 2. pp. 127-135.

Carman, O., Oshiro, T. dan Takashima, F. (1992) Variation in The Maximum Number of Nucleoli in Diploid and Triploid Common Carp. Nippon Suisan Gakkaishi, 58 (12) Formerly Bull. Japan. Soc. Sci. Fish. pp. 2303-2309.

Cassani, J. R., Maloney, D. R., Allaire, H. P. Dan Kerby, J. H. (1990) Problems Associated with Tetraploid Induction and Survival in Grass Carp, Ctenopharyngodon idella. Aquaculture, 88: 273-284.
Chingjiang, W., Yuzhen, Y. dan Rongde, C. (1986) Genome Manipulation in Carp (Cyprinus carpio L.). Aquaculture, 54: 57-61.

Don, J. dan. Avtalion, R. R. (1986) The Induction of Triploidy in Oreochromis aureus by Heat Shock. Theor. Appl. Genet., 72: 186-192.

Effendie, M. I. (1997) Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta. 163 hal.

Ger, G. C., Zan, Y. L., Sun, S. S. dan Ju, B. S. (1993) Inducing Polyploidy in Loach. Aquaculture, 111: 316.

Gervei, J., Marian, T., Krasznai, Z., Nagy, A. dan Csanyi, V. (1980) Occurrence of Aneuploidy in Radiation Gynogenesis of Carp, Cyprinus carpio Linn. Laboratory of Behaviour Genetics, Eutuos University, Hungary.

Gold, J. R. (1979) Cytogenetics. In Fish Physiology, Volume VIII (Eds. W. S. Hoar, D. J. Randall dan J. R. Brett), pp. 353- 405. Academic Press Inc., New York USA.

Goodenough, U (1988) Genetika. Erlangga, Jakarta. 144 hal.

Gustiano, R., Hardjamulia, A. dan Subagyo (1987) Lama Waktu Radiasi Sinar Ultra Violet Pada Sperma Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Bulletin Penelitian Perikanan Darat, Volume 6, Nomor 2. Hal. 38-41.

Hoar, W. S., Randall, D. J. dan Brett, J. R. (1979) Fish Physiology, Volume VIII. Academic Press Inc., New York, USA. 477 p.

Jiang, W., Li, G., Xu, G., Lin, Y. dan Qing, N. (1993) Growth of The Induced Triploid Pearl Oyster, Pinctada martensii D. Aquaculture, 111: 245-253.

Johnstone, R. (1985) Induction of Triploidy in Atlantic Salmon by Heat Shock. Aquaculture, 49: 133-139.
 Johnstone, R. (1993) Optimisation of Ploid Manipulation Procedures. In Genetics in Aquaculture and Fisheries Management (Eds. D. Penman, N. Roongratri dan B. McAndrew), 164 p. AADCP Workshop Proceedings, University of Stirling, Scotland.

Kimball, J. (1994) Biologi. Terjemahan S. S. Tjitrosomo dan N. Sugiri, Edisi V, Jilid I. Penerbit Erlangga, Jakarta. 333 hal.

Komen, J. (1990) Clones of Common Carp (Cyprinus carpio L.). New Perspectives in Fish Research. PhD Thesis, Agricultural University Wageningen, Netherlands. pp. 1-44.

Landau, M. (1992) Introduction to Aquaculture. John Wiley & Sons, New York, USA. pp. 210-226.

Mair, G. C. (1993) Chromosome-Set Manipulation in Tilapia-Techniques, Problems and Prospects. Aquaculture, 111: 227-244.

Malison, J. A., Kayes, T. B., Held, J. A., Barry, T. P. dan Amundson, C. H. (1993) Manipulation of Ploidy in Yellow Perch (Perca flavescens) by Heat Shock, Hydrostatic Pressure Shock and Spermatozoa Inactivation. Aquaculture, 110: 229-242.

Minrong, C., Xinqi, Y., Xiaomu, Y., Hanqin, L., Yonglan, Y., Kang, Y., Peilin, L. Dan Hongxi, C. (1993) Heterogenetic Tetraploids from A Cross of Japanese Phytophagous Crucian Carp Females (Carassius auratus cuvieri) and Red Crucian Carp Males (Carassius auratus red var.). Aquaculture, 111: 317-318.
Oshiro, T. dan Carman, O. (1991) Effect of Triploidization on The Number of Nucleolar Organizer Region and Nucleoli in Carp. Improvement of Inland Aquaculture. Nodai Centre for International Programs, Tokyo University of Aquaculture. pp. 83-84.

Pandian, T. J. dan Varadaraj, K. (1988) Techniques for Producing All Male and All Triploid Oreochromis mossambicus. In The Second International Symposium on Tilapia in Aquaculture (Eds. R. S. V. Pullin, T. Bhukaswan, K. Tongthai dan J. Maclean), pp. 243-249. ICLARM, Conference Proceedings, 15: 623 p. Departement of Fisheries, Bangkok, Thailand and International Center for Living AquaticResources Management, Manila, Philippines.

Pandian, T. J. dan Varadaraj, K. (1990) Techniques to Produce 100 % Male Tilapia. NAGA, The ICLARM Quarterly, Volume 13, Nomor 34. pp. 3-5.

Phillips, R. B., Zajicek, K. D., Ihssen, P. E. Dan Johnson, O. (1986) Application of Silver Staining to The Identification of Triploid Fish Cells. Aquaculture, 54: 313-319.

Purdom, C. E. (1983) Genetic Engineering by The Manipulation of Chromosomes. Aquaculture, 33: 287-300.

Purdom, C. E. (1993) Genetics and Fish Breeding. Chapman & Hall, London. 277 p.

Richter, C. J. J. dan Rustidja (1985) Pengantar Ilmu Reproduksi Ikan. Nuffic/ Unibraw/Luw/Fish, Malang. 83 hal.

Rustidja (1991) Aplikasi Manipulasi Kromosom pada Program Pembenihan Ikan. Makalah dalam Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional V, Jakarta. 23 hal.

Santiago, L. P., Penman, D. J., Myers, J., Powell, S., Roongratri, N., Suwannarak, C. Dan Johnstone, R. (1993) Triploidy Induction in Tilapia (Oreochromis niloticus L.) Using Nitrous Oxide. In Genetics in Aquaculture and Fisheries Management (Eds. D. Penman, N. Roongratri dan B. McAndrew), 164 p. AADCP Workshop Proceedings University of Stirling, Scotland.

Shepherd, C. J. dan Bromage, N. R. (1996) Intensive Fish Farming. Great Britain by Hartnolls Ltd. Bodman, Cornwall. 403 p.

Solar, I. I., Donaldson, E. M. dan Hunter, G. A. (1984) Induction of Triploidy in Rainbow Trout (Salmo Gairdneri Richardson) by Heat Shock and Investigation of Early Growth. Aquaculture, 42: 57-67.

Sumantadinata, K. (1991) Teknologi Produksi Benih Unggul Ikan Mas (Cyprinus carpio L.). Fenotip Generasi Pertama Beberapa Strain Ikan Mas Hasil Pemurnian dengan Metode Gynogenesis. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 47 hal.

Suryo (1990) Sitogenetika. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 442 hal.

Takai, A. dan Ojima, Y. (1982) The Assigment of Nucleolar Organizer Region in The Chromosome of The Carp The Funa and Their Hybrids (Cyprinidae, Pisces). Proceeding Japan Academic Series B., 58: 303-306.

Tave, D. (1993) Genetics for Fish Hatchery Managers. Avi. Publ. Co. Inc., Wesport, Connecticut. 368 p.

Thorgaard, G. H. (1983) Chromosome Set Manipulation and Sex Control in Fish. In Fish Physiology, Volume IX, Part B (Eds. W. S. Hoar, D. J. Randall dan E. M. Donaldson), pp. 405-434. Academic Press Inc., New York, USA.

Thorgaard, G. H. (1992) Application of Genetic Technologies to Rainbow Trout. Aquaculture, 100: 85-97. Woynarovich, E. dan Horvath, L. (1980) The Artificial Propagation of Warmwater Finfishes A Manual for Extension, FAO. 185 p.

Yamazaki, F. (1983) Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture, 33: 329-354.

Yatim, W. (1990) Reproduksi dan Embryologi. Penerbit Tarsito, Bandung. 330 hal.
Zchwarzacher, H. G. dan Wachtler (1983) Nucleolar Organizer Region and Nucleolus. Hum. Gen., 63: 87-89.






TUGAS INDIVIDU GENETIKA DAN PEMULIAAN IKAN

POLIPLOIDISASI IKAN MAS (Cyprinus carpio L.)


Oleh:
LOSITA SUSTRI
0 7 0 4 1 2 1 0 6 6








JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar