PEMBERDAYAAN INDUSTRI PERIKANAN NASIONAL MELALUI PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT DAN PANTAI
I. LATAR BELAKANG
Permintaan dan kebutuhan ikan dunia
terus meningkat dari tahun ke tahun, sebagai akibat pertambahan penduduk dan
perubahan konsumi masyarakat ke arah protein hewani yang lebih sehat.
Sementara itu pasokan ikan dari hasil penangkapan cenderung semakin berkurang,
dengan adanya kecenderungan semakin meningkatnya gejala kelebihan tangkap dan
menurunnya kualitas lingkungan, terutama wilayah perairan tempat ikan memijah,
mengasuh dan membesarkan anak. Di Indonesia gejala overfishing terjadi
pada hampir seluruh perairan Barat Indonesia, kecuali bagian barat
Sumatera dan selatan Jawa.
Guna mengatasi
keadaan ini, maka pengembangan budidaya laut merupakan alternatif yang cukup
memberikan harapan. Hal ini didukung oleh potensi alam Indonesia yang
memiliki 81.000 km garis pantai dan penduduk yang telah terbiasa dengan budaya
pantai dengan segala pernik-perniknya. Kegiatan budidaya laut dan pantai
berpeluang besar menjadi tumpuan bagi sumber pangan hewani di masa depan,
karena peluang produksi perikanan tangkap yang terus menurun. Di beberapa
daerah, kegiatan budidaya laut berkembang dengan sistem Karamba Jaring Apung
atau Karamba Sistem Jaring Tancap. Pada Lampiran 1 disajikan
potensi budidaya laut dan pantai yang ada di Indonesia.
Meskipun demikian pengembangan budidaya
laut hingga saat ini belum menunjukkan kemajuan yang berarti oleh karena
dihadapkan pada berbagai masalah seperti penurunan mutu lingkungan, sosial
ekonomi, kelembagaan dan sumberdaya manusia.
Diantara berbagai jenis kultivan telah
diteliti dan dibudidayakan dalam skala percobaan atau uji coba sejak tahun
70-an, hanya beberapa jenis saja yang berhasil dikembangkan secara komersial
seperti rumput laut, udang windu, kekerangan, bandeng, kakap putih, kerapu
lumpur dan beronang. Beberapa jenis kultivan lainnya diantaranya :
berbagai jenis kerapu, kakap merah, napoleon, kepiting, ikan hias, teripang dan
lobster, masih dalam taraf penelitian dan pengembangan.
Honma (1993) mengklassifikasikan
budidaya laut dan pantai menjadi tiga bagian, yaitu : budidaya di tambak atau
bak beton, budidaya dalam karamba jaring apung dan budidaya di dalam teluk atau
perairan semi tertutup. Budidaya ikan dalam karamba dibagi lagi atas
budidaya ikan dengan pemberian pakan dan tanpa pemberian pakan. Diantara
ketiga jenis budidaya laut dan pantai tersebut, budidaya yang telah berkembang
dengan baik adalah budidaya ikan di tambak dan jaring. Budidaya ikan yang
dilakukan di teluk atau perairan semi tertutup belum dapat dilakukan, dan masih
dalam tahap penelitian dan pengembangan, antara lain karena terhambat oleh
konflik kepemilikan lahan dan penguasaan teknologinya, disamping terkait dengan
kebutuhan investasi yang sangat besar.
Tulisan ini bertujuan mengungkap
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan budidaya laut di Indonesia
selama ini serta berbagai upaya-upaya yang dapat dilaksanakan untuk mengatasi
hambatan dan tantangan, sehingga dapat dilakukan percepatan pengembangan
budidaya laut guna memberdayakan industri perikanan nasional.
II.
PERMASALAHAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA LAUT.
Sebagaimana diuraikan pada awal tulisan, pengembangan
budidaya laut dan pantai di Indonesia
berjalan sangat lamban dikarenakan adanya berbagai permasalahan yang
dihadapi. Jika disarikan permasalahan tersebut dapat dibagi atas 4 bagian
yaitu masalah yang berkaitan dengan alam/lingkungan, sosial ekonomi,
kelembagaan dan teknologi. Lee (1997) menyatakan bahwa untuk pengembangan
budidaya (termasuk perikanan), harus didukung oleh lingkungan, kondisi sosial
ekonomi dan kelembagaan. Clark dan
Beveridge (1989) mengatakan bahwa tantangan pengembangan budidaya ikan terletak
pada kurangnya teknologi. Budidaya laut belum berkembang dengan baik di Indonesia,
dikarenakan tingkat penguasaan teknologi budidaya masih lemah. Teknologi
budidaya laut yang telah dikuasai meliputi teknologi kakap putih, beronang dan
kerapu. Namun teknologi yang betul-betul telah mantap dikuasai adalah
teknologi budidaya kakap putih dan kerapu.
2.1.
Lingkungan/alam
Kendala lingkungan yang dimaksud disini
meliputi : (1) sumberdaya lahan yang terbatas atau sulit dikembangkan untuk
budidaya, (2) terbatasnya jumlah serta kualitas air yang tersedia dan (3)
bencana alam seperti banjir dan tsunami. Tidak semua lahan yang terdapat di
laut dan pantai dapat dimanfaatkan untuk budidaya laut dan pantai. Hanya
lahan-lahan tertentu yang sesuai yang dapat dimanfaatkan untuk budidaya.
Lokasi yang dapat digunakan/dipilih sebagai lokasi budidaya laut harus memenuhi
beberapa persyaratan berikut :
- Perairan tenang terlindung dari arus dan gelombang yang cukup kuat, karena dapat merusak konstruksi jaring apung.
- Kedalaman perairan 5 -15 meter. Kedalaman perairan , 5 meter akan menimbulkan masalah lingkungan (kualitas air dari sisa pakan dan kotoran ikan). Kedalaman perairan > 15 meter akan membutuhkan tali jangkar yang panjang.
- Dasar perairan sebaiknya sesuai dengan habitat asal ikan yang akan dibudidayakan. Ikan kerapu menyukai dasar perairan berpasir.
- Bebas dari bahan cemaran, sehingga lokasi budidaya harus jauh dari kawasan industri maupun pemukiman yang padat.
- Tidak menimbulkan gangguan terhadap alur pelayar.
- Mudah dicapai dari darat dan dari tempat pemasok sarana produksi budidaya.
- Lokasi budidaya aman dari tindak pencurian dan penjarahan.
- Memenuhi syarat dari segi fisik-kimia kualitas air yaitu ;
Kecepatan arus 15 – 20 cm/detik
§
Kecerahan > 1 meter dan untuk kerapu
> 2 meter
§ §
Salinitas : 30 – 33 ppt
§ Suhu : 27 – 29 derajat Celcius
§ Keasaman air > 7 (basa)
§
Oksigen terlarut . > 5 ppm
Sementara itu untuk pengembangan budidaya pantai perlu
memper-hatikan daya dukung lahan. Pengembangan tambak yang melampaui daya
dukung lingkungan akan menimbulkan berbagai dampak ikutan, yang mungkin semakin
sulit diatasi. Daya dukung lahan pantai untuk pertambakan ditentukan oleh
: mutu tanah, mutu air sumber (asin dan tawar), hidrooseanografi (arus
dan pasang surut), topografi dan klimatologi daerah pesisir dan daerah aliran
sungai di daerah hulu (Poernomo, 1992). Pada tabel berikut disajikan
tolok ukur dan kategori daya dukung lahan pantai untuk pertambakan.
Tabel 1. Tolok
ukur dan kategori daya dukung lahan pantai untuk pertambakan.
Tolok ukur
|
Kategori daya dukung
|
||
Tinggi
|
Sedang
|
Rendah
|
|
1. Tipe dasar pantai
|
Terjal,
karang ber-pasir, terbuka
|
Terjal,
karang ber-pasir atau sedikit berlumpur
|
Sangat
landai, berlumpur tebal berupa teluk/laguna
|
2. Tipe garis pantai
|
Konsistensi
tanah stabil
|
Sama
dengan ka-tegori tinggi
|
Konsistensi
tanah sangat labi
|
3. Arus perairan
|
Kuat
|
Sedang
|
Lemah
|
4. Amplitudo pasang surut rataan
|
11
– 21 dm
|
8
– 11 dm dan 21 – 29 dm
|
<
8 dan > 29 dm
|
5. Elevasi
|
Dapat
diairi cukup pada saat pasang tinggi rataan. Da-pat dikeringkan to-tal
pada saat surut rendah rataan
|
Sama
dengan ka-tegori tinggi
|
Dibawah
rataan surut rendah
|
6. Mutu tanah
|
Tekstur
: sandy clay, sandy clay – loam, tidak ber-gambut, tidak ber-pirit.
|
Tekstur
: sandy clay – sandy clay – loam, tidak ber-gambut, kandungan pirit rendah
|
Tekstur
Lumpur atau Lumpur ber-pasir. Bergambut, kandungan pirit tinggi
|
7. Air tawar
|
Dekat
sungai de-ngan mutu air dan jumlah memadai
|
Sama
dengan ka-tegori tinggi
|
Dekat
sungai de-ngan tingkat siltasi tinggi atau air gambut
|
8. Permukaan air tanah
|
Dibawah
LLWL
|
Diantara
MLWL dan LLWL
|
Diatas
MLWL
|
9. Jalur hijau
|
Memadai
|
Memadai
|
Tipis/tanpa
jalur hijau
|
10. Curah hujan
|
<
2000 mm
|
2.000
– 2.500 mm
|
>
2500 mm
|
Sumber : Poernomo, 1992.
Terjadinya pencemaran merupakan salah satu kendala
yang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air, sehingga air tidak dapat
dimanfaatkan sebagai media budidaya. Sering kali terjadi kematian massal
hewan kultivan sebagai akibat keracunan bahan-bahan kimia, yang berasal dari
kegiatan industri maupun pemukiman penduduk. Kegagalan kegiatan budidaya
dapat pula disebabkan oleh terjadinya bencana alam seperti kegagalan usaha
budidaya rumput laut yang telah dirintis oleh nelayan di Kabupaten Sikka, NTT,
sebagai akibat terjadinya tsunami di daerah itu.
2.2.
Sosial Ekonomi dan Budaya
Kendala yang tergolong dalam masalah
sosial ekonomi dan budaya meliputi (1) terbatasnya sarana dan prasarana
produksi, (2) fluktuasi harga produk perikanan yang dihasilkan, sehingga
menyulitkan perencanaan bisnis, khususnya dalam membuat prediksi biaya hasil
(out put) produksi serta (3) masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia
perikanan.
Seringkali terjadi lahan yang sesuai
untuk budidaya komoditas tertentu terdapat pada lokasi terpencil, yang belum
memiliki sarana dan prasarana pendukung seperti penerangan, sarana
telekomunikasi, air bersih dan perhubungan, sehingga investor harus berinvestsi
pula untuk memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana tersebut. Dengan
demikian biaya investasi menjadi sangat tinggi.
2.3.
Kelembagaan
Permasalahan kelembagaan meliputi (1)
keterbatasan pelayanan penyuluhan oleh pemerintah, (2) organisasi petani
ikan belum berkembang dengan baik oleh karena kualitas SDM masih sangat
rendah dan (3) masih lemahnya dukungan dari lembaga keuangan bank dan non-bank
dalam hal dukungan permodalan dan pengeblaan usaha.
Dalam bidang pelayanan penyuluhan,
permasalahan terjadi sebagai akibat terjadinya kesenjangan antara jumlah petani
yang membutuhkan penyuluhan dengan jumlah tenaga penyuluh dan sarana/prasarana
penunjang penyuluhan seperti balai penyuluh dan kolam
percobaan/demonstrasi. Disamping itu kualifikasi penyuluh pada tingkat
PPS maupun PPL terutama dalam bidang budidaya laut masih perlu
ditingkatkan. Kinerja penyuluhan perlu diperbaiki melalui peningkatan
intensitas keterkaitan dengan unit-unit percobaan di tingkat propinsi sampai
dengan tingkat kabupaten. Kegiatan ini akan mendorong kinerja PPS dan PPL
serta meningkat-kan fungsi penyuluhan yang ada di BIPP.
Di Jepang kebijakan pengembangan
perikanan secara nasional diformulasikan oleh suatu badan (komisi) yang terdiri
atas wakil-wakil pemerintah (Fisheries Agency), wakil-wakil dari kelompok
petani yang diutus oleh Federasi Koperasi Perikanan Nasional dan tenaga
ahli. Sedangkan di Indonesia peranan kelompok tani masih sangat kecil,
sehingga kebijakan pengembangan perikanan masih sangat didominasi oleh
pemerintah dan belum mencerminkan kebutuhan petani seutuhnya.
Pemupukan dan pengembangan modal usaha
petani ikan kurang sejalan dengan sistem perbankan yang berlaku. Dalam
pengajuan kredit, seringkali petani ikan dihadapkan kepada kesulitan untuk
menyediakan agunan dalam jumlah tertentu sebagai jaminan kepada pihak
perbankan. Disamping itu prosedur untuk mendapatkan kredit dari lembaga
keuangan bank maupun non-bank, bagi kalangan petani ikan dianggap masih sangat
berbelit-belit, dibanding dengan cara memperoleh pinjaman modal dari rentenir.
2.4.
Teknologi
Untuk memberdayakan ekonomi petani dan
nelayan telah diperkenalkan teknologi pembenihan baik dalam bentuk hatcheri
lengkap (HL) maupun hatcheri skala rumah tangga (HSRT) yang dapat digunakan
untuk membenihkan sebagian besar jenis ikan laut seperti benih udang windu,
udang putih dan bandeng. Sementara pembenihan ikan kakap merah dan putih,
kerapu tikus, macan dan lumpur telah dapat dipasok oleh hatcheri Loka Situbondo
di Jawa Timur dan Loka Gondol di Bali.
Penyediaan teknologi pembenihan masih
belum sepenuhnya memadai karena belum terpecahkannya masalah transportasi
benih, penyediaan pakan buatan dan penguasaan teknik pembasmian penyakit di
tingkat petani. Selain itu pengembangan usaha budidaya laut dalam KJA
masih mengalami berbagai kendala antara lain belum adanya tata ruang
pengembangan budidaya, belum dikuasainya teknologi, belum tercukupinya pasok
benih dan sarana produksi lain seperti pakan dan obat-obatan serta belum
terkendalinya masalah lingkungan dan penyakit.
Pakan yang digunakan untuk pembesaran
ikan di KJA pada umumnya adalah ikan rucah yang tertangkap dengan bagan dari
sekitar KJA tersebut. Namun uji coba penggunaan pakan buatan berupa
pellet produksi pabrik pakan memperlihatkan hasil yang menggembirakan terutama
untuk ikan kakap.
Beberapa paket teknologi maupun komponen
teknologi telah dikuasai antara lain teknologi kultur pakan alami, teknologi
probiotik, teknologi pembenihan kerapu tikus, kepiting bakau, teripang pasir
serta teknologi penanggulangan penyakit parasiter, bakterial, jamur dan virus.
III.
STARATEGI DAN PENDEKATAN PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN LAUT DAN PANTAI
Pengembangan budidaya laut dan pantai
dilakukan dengan menggunakan strategi yang tidak hanya sekedar
memecahkan keempat permasalahan yang telah dikemukakan diatas, tetapi juga
mampu menimbulkan peluang dan insentif bagi pembangunan yang sedang
dilakukan, terutama untuk mengatasi berbagai permasalahan nasional yang sedang
dihadapi Bangsa Indonesia
dewasa ini, seperti masalah devisa dan ketenagakerjaan.
Strategi yang dapat ditempuh untuk mencapai maksud
diatas meliputi berbagai cara dan pendekatan, baik yang mencakup perubahan
struktur budidaya laut dan pantai, pengelolaan pasar secara lebih baik,
perbaikan kelembagaan dan pemanfaatan teknologi budidaya yang tepat guna sesuai
dengan kebutuhan petani maupun yang terkait dengan strategi pemberdayaan
potensi perikanan budidaya secara kesuluruhan dalam kerangka optimaslisasi
pengembangan perikanan budidaya laut dan pantai.
3.1.
Perubahan Struktur Perikanan Budidaya
Perubahan ini dilakukan mengacu pada tujuan perubahan
struktur. Oleh karena pengembangan budidaya laut dan pantai ditujukan
kepada usaha peningkatan produksi, maka kebijakan harus disusun sedemikian,
sehingga dapat mendukung terjadinya peningkatan produksi melalui peningkatan
produktivitas dan ekstensifikasi lahan budidaya. Kebijakan perubahan
struktur merupakan kesengajaan (affimative action) untuk kelompok sasaran
tertentu. Berbagai kebijakan yang dapat ditempuh untuk merubah struktur
produksi adalah (1) pengadaan sarana dan prasarana penunjang budidaya laut dan
pantai, seperti pembangunan saluran irigasi tambak, pembangunan jalan baru,
fasilitas komunikasi, air dan penerangan. (2) pembangunan kawasan budidaya
terpadu, yang terdiri dari unit pembenihan, pembesaran, pasca panen dan
industri pendukung (terutama pakan), pada suatu kawasan yang sama sekali
tidak akan terganggu oleh aktifitas di sekitarnya, sehingga tidak akan terjadi
lagi kematian massal ikan kultivan oleh limbah industri maupun rumah tangga,
(3) pengembangan sistem pemantauan dini untuk mengantisipasi terjadinya bencana
terhadap usaha budidaya yang dilakukan, baik yang disebabkan oleh aktifitas
alam (banjir, tsunami, angin topan dan penyebaran penyakit) maupun oleh karena
aktifitas manusia (penyebaran limbah sebagai akibat terjadinya kecelakaan di
darat maupun di laut).
3.2.
Penciptaan Pasar Yang Bersaing
Pada komoditas budidaya yang bersifat musiman,
pengelolaan pasar sangat penting. Pada saat panen dilakukan produksi
biasanya melimpah, sehingga harga ikan yang dihasilkan turun drastis.
Bilamana penurunan harga itu terjadi hingga dibawah biaya produksi, maka dapat
dipastikan bahwa petani ikan mengalami kerugian. Keadaan ini dapat
dicegah dan diperbaiki dengan melakukan pengelolaan pasar yang lebih baik,
dengan tujuan meningkatkan pendapatan petani, sehingga petani tetap bergairah
untuk melakukan usaha budidaya ikan. Pengelolaan pasar antara lain dapat
dilakukan dengan memperpendek rantai tata niaga dari produsen ke konsumen,
sehingga petani memperoleh keuntungan yang lebih besar.
3.3.
Rasionalisasi Iptek Budidaya Laut dan Pantai
Pengembangan penelitian harus diarahkan
untuk mendapatkan teknologi yang utuh, efisien dan tepat guna khususnya
teknologi pemuliaan, pembenihan, pembesaran dan manajemen kesehatan ikan.
IPTEK yang digunakan dalam perakitan teknologi diutamakan yang mengarah kepada
teknologi bangsa sendiri dan berbasis sumberdaya lokal.
Pada era mendatang, peran pemerintah
dalam pengembangan teknologi akan semakin berkurang, tetapi karena teknologi
perikanan merupakan milik publik, maka teknologi harus dihasilkan oleh
pemerintah. Namun demikian teknologi yang dihasilkan oleh pemerintah ini
perlu dikomersialkan dan ditingkatkan nilai jualnya sesuai dengan HAKI.
Dengan demikian diharapkan teknologi akan cepat berkembang karena terciptanya
iklim persaingan dan tersedianya dana bagi penelitian.
Dalam hal diseminasi, pemerintah masih
memegang peranan penting. Untuk itu pemerintah harus proaktif dan peran
utamanya bukan lagi untuk intervensi ekonomi, melainkan untuk pengaturan dan
pelayanan publik termasuk pembinaan dan pengawasan. Upaya diseminasi yang
dapat dilakukan adalah dengan penyediaan informasi sebanyak-banyaknya dengan
harga murah dan mudah dipahami, mendorong petani untuk proaktif mencari
teknologi, menata pasar input dan out put, mendorong partisipasi LSM lokal,
serta membangun sistem informasi teknologi yang berbasis daerah (spesifik
lokal).
Penciptaan
teknologi bukanlah satu-satunya tujuan dalam upaya pengembangan budidaya
laut. Pengelolaan merupakan hal yang lebih penting baik yang terkait
dengan sumberdaya manusia, teknologi maupun lingkungan. Budidaya laut dan
pantai pada hakekatnya tidak terlepas dari upaya peneglolaan sumberdaya
perikanan laut, pesisir dan pantai secara keseluruhan.
Kegiatan
diseminasi hasil penelitian dan pengkajian hendaknya dilakukan secara
berkelanjutan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari program
penelitian dan pengembangan. Pengembangan IPTEK dan diseminasinya di daerah
perlu didukung oleh peraturan yang memadai. Peraturan yang ada perlu dievaluasi
dan kalau perlu membentuk peraturan baru yang disesuaikan dengan UU No. 22
tahun 1999.
Pengembangan kawasan terpadu
(KAPET) untuk kegiatan utama budidaya laut, dengan dukungan teknologi yang
tersedia dari lembaga penelitian dan pengembangan serta dukungan dana dari
lembaga keuangan, hendaknya segera dilaksanakan. Proyek-proyek percontohan
perlu lebih dikembangkan di kawasan industri budidaya laut, dengan inisiatif
dari pihak pemerintah, bekerjasama dengan swasta ataupun dengan donor. Selain
berfungsi dalam diseminasi, proyek-proyek percontohan dapat pula menarik investasi
dan menambah keyakinan pengusaha dan petani nelayan. Diseminasi teknologi
budidaya laut dan pantai yang selama ini dilakukan di lapangan melalui eksposes
hasil penelitian, aplikasi teknologi, demplot, pelatihan, temu lapang,
lokakarya dan lain-lain, hendaknya terus digalakkan sesuai dengan kebutuhan
setempat.
3.4. Pemberdayaan Kelembagaan
Kelembagaan yang perlu direvitalisasi
untuk menunjang pengembangan budidaya laut dan pantai meliputi kelembagaan
penyuluhan, kelompok tani dan keuangan. Revitalisasi lembaga penyuluhan
dilakukan untuk meningkatkan kesempatan petani memperoleh layanan penyuluhan
sesuai dengan kebutuhannya. Revitalisasi kelompok tani dilakukan untuk
mendorong petani membentuk kelompok dan meningkatkan kualitas kelompok melalui
pemberdayaan anggota kelompok. Tindakan ini dilakukan guna memperkuat
posisi tawar menawar petani ikan. Revitalisasi lembaga keuangan dilakukan
guna mempermudah petani mengakses modal dari perbankan dalam rangka
pengembangan usaha.
Penataan kelembagaan dan koordinasi antar lembaga yang terkait dalam
pengembangan IPTEK dan diseminasi teknologi budidaya laut dan pantai perlu
dilakukan. Di tingkat petani dan nelayan, pembentukan koperasi dan kelompok
tani terbukti banyak membantu proses diseminasi. Adanya suatu sistem informasi
perikanan nasional akan sangat membantu percepatan diseminasi maupun
penyampaian umpan balik.
Disamping itu perlu disusun kurikulum
dan muatan budidaya laut secara proporsional di lembaga-lembaga pendidikan
formal, DIKLAT dan lembaga penyuluhan perikanan dan pertanian seperti STP, APP,
Akademi Perikanan, SPP Perikanan, BIPP, BPP dan lain sebagainya.
Lembaga-lembaga yang mempunyai tugas dan
fungsi diseminasi seperti Balai-balai Pengembangan, BPTP, BIPP, BPP maupun
penyuluh dan kelompok tani – nelayan perlu lebih diberdayakan karena selain
menjadi pemegang peranan penting dalam percepatan transfer teknologi dan
informasi, mereka juga mengidentifikasi kebutuhan serta merakit paket teknologi
spesifik lokasi berdasar sumberdaya yang tersedia untuk mendukung pembangunan
wilayah.
3.5.
Pengembangan Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia merupakan unsur utama
pembangunan yang perlu diperhatikan dalam kegiatan diseminasi budidaya
perikanan laut dan pantai, disamping dua unsur lainnya, yaitu teknologi dan
sumberdaya alam. Termasuk kedalam sumberdaya manusia ini adalah sumberdaya
manusia sebagai penghasil teknologi maupun sumberdaya pengguna teknologi.
Peningkatan
kemampuan sumberdaya manusia, baik kuantitas maupun kualitasnya, dilakukan
terhadap sumberdaya manusia penghasil teknologi (peneliti/perekayasa,
pengajar, penyuluh) maupun sumberdaya manusia pengguna teknologi (petani
nelayan, pengusaha). Dari sisi pengembangan sumberdaya manusia diseminasi
teknologi budidaya laut dan pantai ini dapat dilihat sebagai suatu sistem alih
informasi yang memiliki unsur sebagai berikut.
1.
SDM sebagai penghasil dan pengembang
teknologi
2.
Proses diseminasi teknologi
3.
SDM sebagai penerima pengembangan
teknologi.
Sumberdaya manusia
yang diharapkan sebagai penghasil teknologi dapat ditafsirkan sebagai individu
atau institusi yang melakukan kegiatan, penelitian, percobaan, pengembangan
suatu teknologi agar bermanfaat secara nyata bagi kebutuhan manusia atau
teknologi itu sendir (Zakaria, 1999). Teknologi budidaya laut dan pantai
merupakan bidang yang memberikan harapan besar bagi pembangunan perikanan,
namun masih banyak tantangan yang dihadapi.
Keanekaragaman biota tropis yang sangat tinggi dan
kompleksnya faktor yang mempengaruhinya dapat menyebabkan tidak mudahnya
teknologi ini diseminasikan. Ditambah lagi terbatasnya dana dan budaya
penelitian pada masyarakat. Beberapa hal yang perlu mendapat
perhatian terkait dengan sumberdaya manusia penghasil teknologi , antara lain :
a.
Pengusahaan teknologi terapan budidaya
laut dan pantai
b.
Pemahaman secara mendalam kebutuhan
masyarakat dan pasar bisnis komoditas yang dipilih untuk dikaji, dikembangkan dan
didiseminasikan.
c.
Terwujusnya komunikasi yang akrap,
terbuka dan dinamis, segenap unsur pelaku kegiatan budidaya laut dn pantai.
Sedangkan keberhasilan proses diseminasi
teknologi budidaya laut dan pantai dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut :
1.
Tidak terdapat kesenjangan lokasi yang
luas antara penghasil teknologi dan penggunanya.
2.
Tidak terdapat kesenjangan kognitif yang
tinggi antara penghasil teknologi dengan penggunanya.
3.
Terdapat sistem komunikasi yang baik
untuk menghubungkan antara penghasil dan pengguna teknologi.
Di negara berkembang seperti Indonesia,
pengguna teknologi (petani, nelayan) pendidikannya pada umumnya relatif rendah.
Hal ini merupakan salah satu penghambat kelancaran diseminasi teknologi
budidaya laut dan pantai. Terlebih lagi jumlah lembaga penelitian masih
sangat kecil disamping dengan penyebaran demografis petani-nelayan yang sangat
luas. Beberapa lembaga pemerintah yang menghasilkan
sumberdaya manusia yang dapat berperan dan berfungsi dalam desiminasi
budidaya laut dan pantai, antara lain :
a)
Sekolah Tinggi Perikanan
b)
Akademi Perikanan
c)
Sekolah Pertanian Pembangua
d)
Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian
e)
Balai Penyuluhan Pertanian
f)
Penyuluh pertanian (37.288 orang)
Untuk memperlancar dan mengefektifkan kegiatan
penyuluhan, para petani dan neayan dihimpun dalam wadah kelompok tani-nelayan,
yang sekaligus merupakan media belajar-mengajar atau unit usaha. Sampai dengan
tahun 1999 jumlah kelompok tani-nelayan adalah 354.881 kelompok.
Sumberdaya pengguna dan pelaksana teknologi budidaya
laut dan pantai di Indonesia pada umumnya masih berpendidikan sangat rendah,
yakni 79,05 % tidak tamat SD, 17,59% tamatan SD dan hanya
0,03% yang berpendidikan sarjana. Gambaran tentang sumberdaya pengguna teknologi
budidaya di Indonesia
disajikan pada Tabel berikut.
Tabel 2. Tingkat Pendidikan SDM Perikanan
No
|
Tingkat Pendidikan
|
Persentase
|
01
|
Diploma dan Sarjana
|
0,03
|
02
|
Tamat SLA
|
1,37
|
03
|
Tamat SLTP
|
1,90
|
04
|
Tamat SD
|
17,59
|
05
|
Tidak tamat SD
|
79,05
|
Sumber : BPS, 1990
3.6. Pendekatan
Partisipatif, Kerjasama, Kemitraan
Karena alasan modal,
teknologi, akses terhadap sumberdaya alam, sebagian besar kegiatan budidaya
perikanan laut dikuasai perusahaan berskala besar atau petani maju. Untuk
merangsang pengembangan usaha kecil dan menengah, sekaligus sebagai upaya
diseminasi, perlu dikembangkan sistem kemitraan saling menguntungkan dalam
budidaya perikanan laut, yaitu dengan menyerahkan sebagian kegiatan usaha
kepada pengusaha kecil dan menengah. Pada kenyataannya praktek kemitraan dalam
usaha budidaya pantai belum berjalan sebagaimana diharapkan.
Disamping pendekatan tersebut di atas, secara lebih
spesifik Dahuri (2003) mengemukakan beberapa strategi pengembangan perikanan
budidaya laut dan pantai sebagaimana diuraikan sebagai berikut.
3.7. Pendekatan Pengembangan Budidaya
Berbasis MasyarakatUntuk mengantisipasi perubahan paradigma dari orientasi organisasi berjenjang kepada organisasi tim kerja, sekaligus untuk menghindari tumpang tindih, kegiatan penelitian, pengembangan dan diseminasi juga harus dikoordinasikan secara mantap melalui pengembangan jaringan kerja yang operasional. Pendekatan partisipasi pengguna teknologi dalam perencanaan serta pelaksanaan pengembangan budidaya laut dan pantai perlu dikembangkan. Model yang dapat dikembangkan adalah pengembangan budidaya yang berbasis masyarakat. Pengembangan budidaya berbasis masyarakat (PBBM) dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab, dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengmbangkan kegiatan budidaya laut dan pantai dengan terlebih dahulu mendifinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya. PBBM menyangkut pula pemberian tanggung jawab kepada masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan mereka.
3.8. Pendekatan Pengembangan Budidaya Berbasis Wilayah
dan Komoditas Unggulan
Di samping pendekatan PBBM, maka perlu
kiranya mempertimbangkan pendekatan budidaya berbasis wilayah dan komoditas
unggulan (PPBBWKU). Keragaman kondisi biofisik wilayah laut dan pesisir Indonesia yang
begitu tinggi berimplikasi kepada kesesuaian untuk budidaya komoditas perikanan
berbeda dari satu wilayah ke wilayah lainnya (Lampiran 1). Oleh karena
itu pembangunan budidaya laut dan pantai di Indonesia tidak mungkin dilakukan
seragam. Akan lebih tepat dan benar bila pembangunan perikanan budidaya ini
berdasarkan kepda pendekatan wilayah sesuai dengan komoditas unggulan yang
dapat dikembangkan di wilayah yang bersangkutan. Lebih dari itu, PPBBWKU
juga memudahkan untuk diterapkannya pendekatan pembanguna wilayah secara
terpadu dan total football oleh segenap sektor yang terkait.
Komoditas perikanan yang dihasilkan oleh
usaha perikanan budidaya ini tidak hanya dimaksudkan untuk pasar global guna
memperoleh devisa, tetapi juga di dalam rangka memenuhi kebutuhan ikan
(ketahanan pangan) dalam negeri, sehingga rakyat menjadi cerdas dan kuat. Oleh
karenanya, komoditas unggulan yang dimaksudkan di sini adalah komoditas
perikanan yang permintaan pasarnya tinggi, baik pasar domestik maupun eksport,
atau harga jualnya tinggi. Komoditas unggulan untuk budidaya tambak meliputi :
udang windu, udang vaname, udang rostris, kerapu lumpur, bandeng, rajungan dan
rumput laut (Gracillaria Sp). Sedangkan untuk budidaya laut mencakup
berbagai macam jenis kerapu, beronang, kakap, kerang mutiara dan rumput laut (Eucheuma
Sp).
Sesuai dengan tuntutan otonomi daerah dan
desentralisasi, maka setiap propinsi dan kabupaten/kota perlu melakukan
pemetaan wilayah komoditas unggulan dimaksud. Atas dasar peta ini disusun
rencana pembangunan wilayah dengan salah satu sektor produktif unggulan (Leading
sector) perikanan budidaya laut dan atau payau, yaitu meliputi tiga langkah
sebagai berikut (Dahuri, 2003):
a)
Pertama, setiap PEMDA melakukan
inventarisasi dan pemetaan mengenai karakteristik biofisik, potensi budidaya,
aspek kelembagaan, karakteristik dan dinamika sosio kultural masyarakat.
b)
Kedua, atas dasar informasi dari langkah
pertama selanjutnya disusun peta tata ruang berkelanjutan yang terdiri atas :
kawasan preservasi, kawasan konservasi dan kawasan pengembangan budidaya.
c)
Ketiga, Menyusun rencana investasi dan
pembangunan perikanan budidaya atas dasar peta tata ruang yang dihasilkan pada
langkah kedua tadi.
3.9. Penerapan Teknologi Budidaya sesuai Daya Dukung
Lingkungan dan Kesiapan Masyarakat Setempat dalam Adaptasi Teknologi
Salah satu faktor penyebab kegagalan budidaya di masa
yang lalu tertutama di daerah sentra-sentra budidaya tambak udang seperti Pantai
Utara Jawa dan Sulawesi Selatan, adalah intensitas budidaya (luas lahan dan
tingkat teknologi yang dignakan) melampaui daya dukung lingkungan. Selain itu
kesiapan masyarakat petambak khususnya yang terkait dengan disiplin, keahlian
dan kerjasama kelompok pada saat itu belum memadai. Oleh sebab itu
penerapan teknologi budidaya pada wilayah-wilayah pengembangan yang telah
ditetapkan pada butir 3.6 di atas harus disesuaikan dengan daya dukung
lingkungan setempat dan kesiapan masyarakatnya di dalam mengadopsi dan
menerapkan teknologi termaksud.
3.10. Revitalisasi Sentra Wilayan Produksi Pertambakan
Udang.
Komoditas udang menempati urutan ke lima terbesar
dalam deretan komoditas ekspor non migas, dan merupakan komoditas perikatan
yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia, karena 50% dari total
nilai ekspor perikanan Indonesia (sekitar 2 milyar US$ pada tahun 2002) berasal
dari komoditas udang. Lebih dari itu, permintaan dunia terhadap komoditas ini
sangat besar dan terus meningkat. Pada tahun 2005, diperkirakan akan terjadi
penurunan produksi perikanan, karena beberapa negara produksen perikanan akan
menghentikan kegiatan produksi (penangkapan)-nya, sehingga merupakan peluang
yang besar bagi produksi perikanan nasional. Oleh karenanya program revitalisasi
saha budidaya pantai di daerah – daerah yang pada awal tahun 1980-an sampai
awal 1990-an pernah menjadi sentra produksi udang perlu segera dilakukan.
Program ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut (Dahuri, 2003).
Pertama, menentukan
daerah-daerah tambak yang masih dapat direvitalisasi dan yang sudah tidak
mungkin untuk direhabilitasi.
Kedua, bagi
tambak yang masih dapat diselamatkan harus dapat diperbaiki tata letak dan
desain perkolamannya serta diperbaiki kualitas dan daya dukung lingkungannya melalui
penanaman kembali mangrove sesuai kebutuhan dan pengendalian pencemaran,
terutama yang berasal dari sektor-sektor lain di sebelah hulu kawasan
pertambakan.
Ketiga,
setelah rehabilitasi lingkungan pertambakan pada butir 2 selesai, maka
pembudidayaan jenis udang windu yang harga jualnya paling tinggi dapat kembali
dilakukan dengan prinsip kehati-hatian sesuai daya dukung lingkungan.
Keempat,
perlu perlindungan kawaan industri budidaya pantai melalui implementasi tata
ruang wilayah berbasis Daerah Aliran Sungai yang harus ditetapkan dalam bentuk
Peraturan Daerah. Hal ini sangat mendasar, karena kegagalan industri tambak
udang pada masa yang lalu pada umumnya disebabkan oleh kualitas perairan yang
buruk dan terus menurun akibat pencemaran dari berbagai kegiatan lain di hulu.
3.11. Penguatan dan Pengembangan Teknologi
Budidaya.
Saat sekarang teknologi yang digunakan untuk usaha
budidaya laut masih sebatas pada jaring apung atau karamba laut, sistem rakit
dan rakit dasar. Dengan banyaknya teluk-teluk dan daerah laut yang bersifat
semi tertutup serta pulau-pulau kecil yang dikelilingi mangrove dan
terumbu karang, maka teknologi sea ranching dan sea farming
seperti yang berhasil diterapkan di beberapa negara, seperti Jepang,
Australia, dan beberapa negara Pasifik Selatan perlu diterapkan dengan beberapa
penyesuaian.
3.12. Penguatan dan Pengembangan Kapasitas Pasca Usaha
Budidaya Perikanan.
Secara bio-teknis keberhasilan usaha perikanan
budidaya laut dan pantai ditentukan oleh penguasan dan penerapan secara tepat
dan benar lima elemen dasar (panca usaha) budidaya perikanan, yaitu (Dahuri,
2003): (1) perbenihan, (2) pakan atau nutrisi (3) pengendalian hama dan
penyakit (4) manajemen kualitas air dan tanah, (5) pon engineering dan layout
perkolaman. Kemampuan dalam mengusai dan menerapkan panca usaha budidaya
perikanan ini harus senantiasa terus ditingkatkan, jika ingin potensi ekonomi
yang sangat besar ini dapat mewujudkan kemakmuran yang dicita-citakan.
3.13. Pembangunan Prasarana
Potensi ekonomi yang terdapat pada usaha perikanan
budidaya laut dan pantai sangat besar, tetapi realisasinya sangat kecil,
disebabkan antara lain terbatasnya prasarana, seperti saluran irigasi dan
drainase pertambakan, akses jalan dan sebagainya. Selama ini, saluran irigasi
tambak merupakan bagian terhilir dari sistem irigasi sawah (pertanian),
sehingga air yang masuk ke tambak kebanyakan mengandung sisa-sisa pestisida,
herbisida, atau pupuk dari lahan pertanian. Oleh karena itu perlu membangun
prasarana ini khusus untuk kawasan pertambakan sebagaimana dipraktekkan secara
berhasil di Thailand.
3.14. Penerapan Sistem Bisnis Perikanan Budidaya
Secara Terpadu
Pembangunan perikanan budidaya hendaknya dilakukan
berdasarkan pendekatan sistem bisnis perikanan budidaya secara terpadu, sehingga
arah dan kebijakan pembangunan merefleksikan kegiatan dari seluruh fungsi sub
sistem perikanan yang meliputi pembangunan sub-sistem perbenihan, sub-sistem
usaha budidaya, sub-sistem pasca panen dan pemasaran yang ditunjang oleh
pembangunan sub-sistem kesehatan ikan dan lingkungannya serta pembangunan
sub-sistem prasarana budidaya perikanan. Dalam pembangunan budidaya
tambak yang menjadi sorotan adalah berkaitan dengan pembangunan budidaya
yang berkelanjutan sesuai dengan amanat FAO (1995) melalui Code of
Conduct for Responsible Fisheries, sehingga arah pembangunan perikanan
budidaya, khususnya budidaya udang hendaknya dilakukan dengan prinsip-prinsip
pembangunan yang bertanggungjawab dengan memadukan elemen daya dukung dan
pengendalian lingkungan.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut.
1.
Perikanan budidaya merupakan salah satu
potensi ekonomi nasional yang saat sekarang belum dapat dimanfaatkan secara
optimal
2.
Pengembangan perikanan budidaya laut dan
pantai masih mengalami banyak kendala, baik yang bersifat internal seperti
masalah SDM, penguasaan teknologi dan sebagainya maupun yang terkait dengan
persoalan eksternal, seperti masalah lingkungan dan ketersediaan sarana dan
prasarana.
3.
Guna mengatasi berbagai permasalahan yang
timbul berkaitan dengan upaya pengembangan budidaya laut dan pantai, sekaligus
memecahkan berbagai permasalahan Bangsa Indonesia, maka strategi
pengembangan yang dapat ditempuh adalah :
a.
Perubahan struktur budidaya laut dan
pantai yang berorientasi pada peningkatan produksi. Strategi ini ditempuh
melalui peningkatan produktivitas dan ekstensifikasi lahan budidaya
b.
Penciptaan struktur pasar yang
lebih
4. Berbagai upaya sebagaimana diuraikan di atas akan
mampu mempercepat pengembangan perikanan budidaya laut dan pantai jika
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh semua pihak yang terkait, dari level
Daerah Kabupaten/Kota sampai dengan level nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Clarke, R. and M. Beveridge. 1989. Off shore
fish farming. Infofish International, 3 (89) : 12 – 15.
Dahuri, R. 2003. Paradigma baru
pembangunan Indonesia
berbasis kelautan. Orasi ilmiah : Guru besar tetap bidang pengelolaan sumber
daya pesisir dan lautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian
Bogor.
Honma, A. 1993. Aquaculture
in Japan.
Japan
FAO Association. Baji Chikusan-Kaikan, 1-2 Kanda Surugadai, CVhiyoda-Ku, Japan.
Jusuf, G.D.H. dan V.P.H.
Nikijuluw. 1999. Arah kebijaksanaan dan strategi diseminasi teknologi dan
penelitian budidaya laut dan pantai dalam A. Sudrajat, E. S.Heruwati, J.
Widodo dan A. Poernomo (Penyunting). Prosiding Seminar Nasional
Penelitian dan Diseminasi Teknologi Budidaya laut dan Pantai di Jakarta Tanggal
2 Desember 1999. Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan
bekerjasama dengan JICA
Lee, C.S. 1997. Constraints and
government intervention for the development of aquaculture in developing
countries. Aquaculture Economics and Managements, 1(1) : 65 – 71.
Maan, M., Bachrein dan M.
Rochiyat. 1999. Diseminasi teknologi budidaya laut dan pantai dalam
A. Sudrajat, E. S.Heruwati, J. Widodo dan A. Poernomo (Penyunting).
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi Teknologi Budidaya laut
dan Pantai di Jakarta 2 Desember 1999. Badan Litbang Pertanian,
Puslitbang Perikanan bekerjasama dengan JICA.
Nikijuluw, Victor P.H., 2002. Rezim
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Pusat Pemberdayaan dan Pembangunan Daerah dan
PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta.
Sugama, K. 1999. Inventarisasi
dan identifikasi teknologi budidaya laut dan pantai yang telah dikuasai untuk
diseminasi dalam A. Sudrajat, E. S.Heruwati, J. Widodo dan A. Poernomo
(Penyunting). Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Diseminasi
Teknologi Budidaya laut dan Pantai di Jakarta Tanggal 2 Desember 1999.
Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Perikanan bekerjasama dengan JICA