1. PENDAHULUAN
1.1
LATAR
BELAKANG
Pengelolaan
budidaya ikan (khususnya ikan lele) perlu memperhatikan efisiensi dan
produktivitas usaha serta kualitas ikan. Hal ini harus diimbangi dengan upaya
perbaikan dan peningkatan kualitas induk maupun benih ikan lele. Saat ini
disinyalir telah terjadi penurunan kualitas induk maupun benih ikan lele yang
dipelihara oleh petani ikan. Beberapa usaha maupun penelitian telah dilakukan
dalam upaya peningkatan produktivitas (produksi) dan perbaikan serta
peningkatan kualitas genetik ikan lele seperti program seleksi, manipulasi
jenis kelamin melalui perlakuan hormonal maupun manipulasi
kromosom.Teknik-teknik manipulasi kromosom telah diterangkan oleh para peneliti
sejak tahun 1970-an dan teknik ini potensial untuk sex control dan
manipulasi genome (Thorgaard, 1983).
Manipulasi
kromosom mungkin dilakukan selama siklus nukleus dalam pembelahan sel, dasarnya
adalah penambahan atau pengurangan set haploid atau diploid. Pada ikan dan
hewan lainnya dengan fertilisasi eksternal, prosesproses buatan (artificial)
dapat dilakukan untuk salah satu gamet sebelum fertilisasi atau telur
terfertilisasi pada beberapa periode selama formasi pada zigot (Purdom, 1983).
Poliploidisasi
merupakan salah satu metode manipulasi kromosom untuk perbaikan dan peningkatan
kualitas genetik ikan guna menghasilkan benih-benih ikan yang mempunyai
keunggulan, antara lain: pertumbuhan cepat, toleransi terhadap lingkungan dan
resisten terhadap penyakit. Induksi poliploid dalam budidaya ikan sangat
menarik perhatian masyarakat petani ikan maupun para peneliti di bidang
perikanan. Poliploidisasi pada ikan dapat dilakukan melalui perlakuan secara
fisik seperti melakukan kejutan (shocking) suhu baik panas maupun
dingin, pressure (hydrostatic pressure) dan atau secara kimiawi
untuk mencegah peloncatan polar body II atau pembelahan sel pertama pada
telur terfertilisasi (Thorgaard, 1983; Yamazaki, 1983; Carman et al.,
1992; Shepperd dan Bromage, 1996).
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari
praktikum Genetika dan Pemuliaan Ikan yang berjudul “Triploidisasi Ikan Lele dumbo (Clarias gariepinus)
Dengan perlakuan waktu kejutan suhu yang berbeda” ini adalah untuk mengetahui
perlakuan terbaik untuk menghasilkan ikan lele triploid.
Sedangkan
manfaat yang bisa kita dapat adalah kita bisa mengetahui perlakuan terbaik
untuk triplodisasi ikan lele sehingga kita bisa mempraktekanya sendiri.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
Proses
triploidisasi pada ikan prinsipnya adalah mencegah atau menahan terjadinya peloncatan
polar body II dari telur atau pembelahan meiosis II. Kejutan
sebaiknya dipergunakan setelah kromosom bereplikasi dan nukleus
zigot kira-kira terbagi menjadi dua. (Bidwell et al., 1985;
Johnstone, 1993; Tave, 1993; Shepperd dan Bromage, 1996). Periode dengan
sensitif tinggi untuk menghasilkan ikan tetraploid menggunakan perlakuan
kejutan panas dicapai pada waktu menutupnya konjugasi pronuklei
betina dan jantan serta lysisnya membran nuklear yang mencapai metafase
mitosis I (Minrong et al., 1993). Peloncatan polar body II
pada beberapa spesies ikan terjadi antara 3-7 menit setelah fertilisasi
(Carman et al., 1991). Komen (1990) mengatakan bahwa peloncatan polar
body II terjadi pada 5 menit setelah fertilisasi, sedangkan proses
mitosis terjadi pada 30 menit setelah fertilisasi.
Thorgaard (1983)
menjelaskan, pendekatan praktis untuk induksi poliploidi melalui kejutan panas
merupakan perlakuan aplikatif sesaat setelah fertilisasi (untuk induksi
triploidi) atau sesaat setelah pembelahan pertama (untuk induksi tetraploidi)
pada suhu lethal. Kejutan suhu selain murah dan mudah juga efisien dapat
dilakukan dalam jumlah banyak (Rustidja, 1991). Kejutan panas merupakan teknik
perlakuan fisik yang paling umum digunakan untuk menghasilkan poliploidi pada
ikan (Don dan Avtalion, 1986).
Tiga hal yang
perlu diperhatikan dalam perlakuan kejutan suhu pada telur, yaitu waktu awal
kejutan, suhu kejutan dan lama kejutan (jelas sangat rendah daya hidupnya,
tetapi Don dan Avtalion, 1986). Nilai parameter tersebut berbeda untuk setiap
spesies (Pandian dan Varadaraj, 1988). Tave (1993) melaporkan, triploidisasi
akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan dan sterilitas. Ukuran sel ikan
triploid lebih besar dibandingkan dengan diploid, nukleus berisi 33 % lebih
allel untuk pertumbuhan dan energi untuk pertumbuhan produksi gamet berkurang
atau terhambat. Ikan triploid mempunyai gonadosomatic index yang lebih
rendah bila dibandingkan dengan diploid (Mair, 1993).
Keuntungan
triploid adalah dapat mengontrol overpopulate, membuat populasi monosex,
memacu pertumbuhan dan kelulushidupan serta memiliki pertumbuhan lebih cepat
dari diploid, karena energi yang dipergunakan untuk perkembangan gonad pada
diploid dipergunakan untuk pertumbuhan somatik pada triploid (Thorgaard, 1983).
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum Genetika dan Pemuliaan Ikan ini dilaksanakan pada tanggal 27
November-06 Desember 2010.
Pelaksaan praktikum ini bertempat di laboratorium PPI milik jurusan budidaya
perairan fakultas perikanan dan ilmu kelautan Universitas Riau.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum Genetika
dan Pemuliaan Ikan ini adalah
induk ikan lele jantan 1 ekor dan betina 1 ekor, ovaprime, larutan
fisiologis, dan larutan pembuahan.
Alat-alat yang digunakan berupa akuarium, tapis santan, jarum suntik, bulu
ayam, petri dish, mangkok untuk menampung telur, serta aerator untuk sistem
aerasi saat penetasan telur serta waterbath
sebagai wadah air panas untuk perlakuan kejutan suhu.
3.3. Metode Praktikum
Metode yang digunakan dalam pratikum Genetika dan
Pemuliaan Ikan ini adalah metode
dengan pengamatan langsung terhadap objek praktikum yang diteliti atau yang
diamati. Yaitu induk ikan lele yang siap memijah serta telur-telur yang siap
untuk menetas menjadi larva.
3.4. Prosedur Praktikum
Penyuntikan
adalah kegiatan memasukan hormon perangsang ke tubuh induk betina. Hormon
perangsang yang umum digunakan adalah ovaprim. Caranya, siapkan induk betina
yang sudah matang gonad; sedot 0,5 ml ovaprim untuk setiap kilogram induk;
suntikan ke dalam tubuh induk tersebut; masukan induk yang sudah disuntik ke
dalam bak lain dan biarkan selama 6 jam. 6 jam berikutnya kemudian dilakukan
penyuntikan ke 2 dengan dosis yang sama.
Setengah jam
sebelum pengeluaran telur, sperma harus disiapkan. Caranya, tangkap 1 ekor
induk jantan yang sudah matang kelamin; potong secara vertikal tepat di
belakang tutup insang; keluarkan darahnya; gunting kulit perutnya, mulai dari
anus hingga belakang tutup insang; buang organ lain dalam perut; ambil kantung
sperma; bersihkan kantung sperma dengan tisu hingga kering; hancurkan kantung
sperma dengan cara menggunting bagian yang paling banyak; peras spermanya agar
keluar dan masukan ke dalam cangkir yang telah diisi larutan fisiologis.
Pengeluaran
telur dilakukan setelah 6 jam dari penyuntikan ke 2. Cara pengeluaran telur :
siapkan 1 buah mangkok, sebotol NaCl Fisiologis, larutan penbuahan, sebuah bulu
ayam, kain lap dan tisu; tangkap induk dengan sekup net; keringkan tubuh induk
dengan lap; bungkus induk dengan lap dan biarkan lubang telur terbuka; pegang
bagian kepala oleh satu orang dan pegang bagian ekor oleh yang lainnya; pijit
bagian perut ke arah lubang telur, dan tampung telur dalam mangkok.
Seteleh semua
telur keluar, kemudian dilakukan proses pembuahan. Yaitu dengan mencampurkan
cairan sperma dan telur serta diencerkan dengan larutan penbuahan. Aduk dengan
menggunakan bulu ayam, setelah homogen kemudian tebarkan ke dalam tapisan
santan yang telah disiapkan sebelumnya, biarkan beberapa menit sesuai perlakuan
yang dipakai. Setelah itu angkat tapisan santan dan pindahkan ke dalam heater
yang bersuhu 400C untuk kejutan panas dan biarkan beberapa menit
sesuai perlakuan.
Pindahkan
tapisan santan kedalam aquarium sebagai wadah inkubasi dan penetasan telur.
Sore hari lakukan pembuangan telur yang tidak terbuahi agar tidak mengotori
wadah dan mengganggu penetasan telur yang terbuahi, hitung jumlah telur yang
terbuahi untuk mengetahui nilai Fertilizatio Rate (FR). Setelah telut menetas
kemudian hitung nilai Heching Rate (HR). Larva diberi pakan alami berupa
daphnia setelah hari ke 2 penetasan. Hitung Survival Rate (SR) pada hari ke 5
dan ke 10.
IV. HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
Hasil yang
diperoleh dari praktikum “Triploidisasi Ikan Lele dumbo (Clarias gariepinus)
Dengan Perlakuan Lama Kejutan Suhu Yang Berbeda (Perlakuan P3K3)” ini adalah:
1. Fertilization Rate (FR)
Ø
Ø
Ø
90,17 %
2. Heching Rate (HR)
Ø
Ø
Ø
3. Survival Rate 5 (SR 5)
Ø
Ø
Ø
4. Survival rate 10 (SR 10)
Ø
Ø
Ø
Berat
ahir larva = 0,40 gr, jadi berat rata-rata per ekor ikan adalah 0,13 gr.
4.2. Pembahasan
Laju penetasan telur ikan lele triploid
jauh lebih rendah dibandingkan dengan ikan lele diploid. Hal ini dimungkinkan
akibat pengaruh perlakuan kejutan suhu panas yang diberikan pada telur dalam
proses poliploidisasi. Tave (1993) mengemukakan bahwa mortalitas yang terjadi kemungkinan
disebabkan oleh beberapa macam efek merugikan dari perlakuan kejutan pada sitoplasma
telur. Perlakuan kejutan suhu dapat mengakibatkan kerusakan pada benang-benang spindel
yang terbentuk saat proses pembelahan sel dalam telur. Kejutan suhu dan tekanan
mengakibatkan rusaknya mikrotubulus yang membentuk spindel selama pembelahan
(Dustin, 1977 dalam Gervai et al., 1980). Rieder dan Bajer (1978)
dalam Bidwell et al. (1985) berpendapat bahwa kejutan
panas menyebabkan depolimerisasi pada polimer tubulin dalam mikrotubulus yang
essensial dalam pembentukan spindel. Pandian dan Varadaraj (1990) menyatakan,
beberapa telur yang diberi kejutan panas mati sebelum atau sesaat setelah
menetas. Percobaan triploidisasi pada ikan salmon salar memperlihatkan kematian
selama percobaan yang terjadi pada saat penetasan telur dan pemeliharaan (Johnstone,
1985).
Rendahnya laju penetasan pada ikan lele triploid
ini juga disebabkan tingginya larva cacat yang dihasilkan setelah proses
penetasan. Rieder dan Bajer (1978) dalam Bidwell et al. (1985) mengemukakan
bahwa larva cacat dapat disebabkan oleh lapisan terluar dari telur (chorion)
yang mengalami pengerasan, sehingga embrio akan sulit untuk keluar. Setelah
chorion dapat dipecahkan, maka embrio akan lahir dengan keadaan tubuh yang
cacat. Pengerasan chorion ini akibat terganggunya aktivitas enzim penetasan
yang disebabkan oleh suhu air media inkubasi terlalu tinggi. Pemberian kejutan
panas pada telur dapat pula menyebabkan individu-individu yang dihasilkan
memperlihatkan bentuk tubuh yang abnormal seperti ekor yang pendek, tidak berekor
atau memiliki ekor yang bengkok (Solar et al., 1984) dan berkromosom
haploid (Gervai et al., 1980). Embrio haploid akan mati selama penetasan
dan hanya sebagian kecil saja yaitu 0,15-0,2 % yang dapat bertahan hidup
(Purdom, 1983).
Larva cacat kemungkinan disebabkan karena
adanya gangguan pada saat pembelahan mitosis pertama yang mengakibatkan
hilangnya beberapa kromosom dan mereduksi penggandaan kromosom dalam siklus sel
berikutnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan jumlah kromosom
di dalam tubuh dan juga hilangnya beberapa informasi genetik dalam kromosom
yang hilang ataupun tereduksi tersebut (Alridge et al., 1989).
Kelangsungan hidup ikan lele triploid lebih
rendah apabila dibandingkan dengan ikan lele diploid. Hal ini kemungkinan besar
akibat rendahnya kemampuan ikan-ikan poliploid seperti triploid dalam menangkap
oksigen terlarut dalam air. Kemampuan banding oxygen atau pengikatan
oksigen terlarut ikan-ikan triploid dan tetraploid sangat rendah bila dibandingkan
dengan ikan normal (Rustidja, komunikasi personal).
Ikan-ikan poliploid seperti triploid
memiliki ukuran sel yang besar dan jumlah sel yang jauh lebih banyak bila dibandingkan
dengan ikan diploid, dikarenakan pembelahan sel yang terjadi di dalam tubuh
ikan poliploid sangat tinggi dan hal ini diduga menyebabkan proses metabolisme
di dalam tubuh ikan juga akan berjalan lebih cepat, sehingga sangat diperlukan
jumlah atau kadar oksigen terlarut yang cukup besar. Padahal, apabila kemampuan
banding oxygen ikan terlalu rendah, maka jumlah/kadar oksigen yang diserap
jauh tidak seimbang dengan jumlah/kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk
memperlancar proses metabolisme tubuhnya. Ditambah lagi dengan adanya persaingan
antar individu untuk mengkonsumsi oksigen terlarut dalam air media pemeliharaan
yang menyebabkan terbatasnya ketersediaan oksigen terlarut. Akibatnya, kemampuan
ikan-ikan triploid untuk bertahan hidup sangat rendah. Kelangsungan hidup ikan
poliploid pada fase larva pertama kali makan umumnya berbeda dengan diploid,
yaitu lebih rendah bila dibandingkan dengan diploid (Thorgaard, 1992; Purdom,
1993; Santiago et al., 1993). Thorgaard (1983) melaporkan bahwa
zebrafish tetraploid terlihat sedikit dan tidak ada yang tahan hidup melebihi
larva fase kuning telur. Induksi tetraploid pada perch (Perca flavescens)
menghasilkan mortalitas yang sangat tinggi ketika larva berumur 7 hari (Cassani
et al., 1990 dan Malison et al., 1993).
Tave (1993) menyatakan bahwa ukuran sel
ikan triploid lebih besar dibandingkan dengan diploid. Nukleus berisi 33 persen
lebih allel untuk pertumbuhan dan energi yang dipergunakan untuk pertumbuhan
produksi gamet berkurang atau terhambat.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Triploidisasi merupakan salah satu
bagian dari ploidisasi dengan proses atau kejadian terbentuknya individu dengan
kromosom lebih dari dua set. Triploidisasi telah dilakukan dan digunakan untuk
meningkatkan pertumbuhan ikan.
Teknik triploidisasi dapat mengunakan
dua pelakuan, yaitu perlakuan fisika dan kimia. Penggunaan perlakuan fisika dan kimia
sesaat setelah dimulainya pembuahan merupakan cara yang relatif mudah dalam
triploidisasi. Kejutan suhu mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan
perlakuan lainnya. Kejutan suhu ini bisa berupa kejutan yang lebih panas dari
suhu normal. kejutan panas juga memerlukan waktu yang lebih singkat daripada
kejutan dingin. Pendekatan praktis untuk induksi poliploidi melalui kejutan
panas merupakan perlakuan aplikatif sesaat setelah fertilisasi (untuk induksi
triploidi) atau sesaat setelah pembelahan pertama (untuk induksi tetraploidi)
pada suhu lethal.
Tiga
parameter yang berhubungan dengan perlakuan kejutan panas adalah umur zigot
waktu pelaksanaan kejutan, suhu kejutan dan lama perlakuan kejutan. Pemilihan
umur zigot waktu pelaksanaan, suhu dan lama waktu kejutan yang tepat adalah
spesifik untuk masing-masing sperma
dalam petridisch.
Prinsip pemberian kejutan suhu pada
telur yang telah dibuahi adalah mencegahnya keluarnya badan kutub II pada saat
pembelahan meiosis II. Ikan-ikan triploid merupakan ikan-ikan secara genetik
mempunyai satu set tambahan kromosom, sehingga pada setiap sel tubuhnya
memiliki tiga set kromosom. Dua set kromosom adalah kromosom telur dan satu set
kromosom sperma.
5.2. Saran
Saran yang bisa diberikan untuk para praktikan adalah
agar para praktikan benar-benar melakukan praktikum ini sesuai prosedur yang
ada, sehingga hasil yang diperoleh bisa dipertanggung jawabkan. Karena ilmu
yang bisa kita peroleh dari praktikum ini sangat banyak dan bermanfaat bagi
kita kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alridge,
F. J., Marston, R. Q. dan Shireman, J. V. (1989) Induced Triploids and Tetraploids
in Bighead Carp, Hypophthalmichthys nobilis. Verified by Multi-Embryo
Cytofluorometric Analysis. Aquaculture, 87: 121-131.
Bidwell,
C. A., Chrisman, C. L. dan Libey, G. S. (1986) Polyploidy Induced by Heat Shock
in Channel Catfish. Aquaculture, 57: 362.
Carman,
O., Oshiro, T. dan Takashima, F. (1991) Estimation of Effective Condition for
Induction of Triploidy in Goldfish, Carassius auratus Linnaeus. Journal
of The Tokyo University of Fisheries, Volume 78, Nomor 2. pp. 127-135.
Carman,
O., Oshiro, T. dan Takashima, F. (1992) Variation in The Maximum Number of
Nucleoli in Diploid and Triploid Common Carp. Nippon Suisan Gakkaishi,
58 (12) Formerly Bull. Japan. Soc. Sci. Fish. pp. 2303-2309.
Cassani,
J. R., Maloney, D. R., Allaire, H. P. Dan Kerby, J. H. (1990) Problems
Associated with Tetraploid Induction and Survival in Grass Carp, Ctenopharyngodon
idella. Aquaculture, 88: 273-284.
Don,
J. dan. Avtalion, R. R. (1986) The Induction of Triploidy in Oreochromis
aureus by Heat Shock. Theor. Appl. Genet., 72: 186-192.
Gervei,
J., Marian, T., Krasznai, Z., Nagy, A. dan Csanyi, V. (1980) Occurrence of
Aneuploidy in Radiation Gynogenesis of Carp, Cyprinus carpio Linn.
Laboratory of Behaviour Genetics, Eutuos University, Hungary.
Johnstone,
R. (1985) Induction of Triploidy in Atlantic Salmon by Heat Shock. Aquaculture,
49: 133-139.
Johnstone,
R. (1993) Optimisation of Ploid Manipulation Procedures. In Genetics in Aquaculture
and Fisheries Management (Eds. D. Penman, N. Roongratri dan B. McAndrew),
164 p. AADCP Workshop Proceedings, University of Stirling, Scotland.
Komen,
J. (1990) Clones of Common Carp (Cyprinus carpio L.). New
Perspectives in Fish Research. PhD Thesis, Agricultural University
Wageningen, Netherlands. pp. 1-44.
Mair,
G. C. (1993) Chromosome-Set Manipulation in Tilapia-Techniques, Problems and
Prospects. Aquaculture, 111: 227-244.
Minrong,
C., Xinqi, Y., Xiaomu, Y., Hanqin, L., Yonglan, Y., Kang, Y., Peilin, L. Dan Hongxi,
C. (1993) Heterogenetic Tetraploids from A Cross of Japanese Phytophagous
Crucian Carp Females (Carassius auratus cuvieri) and Red Crucian Carp
Males (Carassius auratus red var.). Aquaculture, 111: 317-318.
Malison,
J. A., Kayes, T. B., Held, J. A., Barry, T. P. dan Amundson, C. H. (1993) Manipulation
of Ploidy in Yellow Perch (Perca flavescens) by Heat Shock, Hydrostatic
Pressure Shock and Spermatozoa Inactivation. Aquaculture, 110: 229-242.
Pandian,
T. J. dan Varadaraj, K. (1990) Techniques to Produce 100 % Male Tilapia. NAGA,
The ICLARM Quarterly, Volume 13, Nomor 34. pp. 3-5.
Purdom,
C. E. (1983) Genetic Engineering by The Manipulation of Chromosomes. Aquaculture,
33: 287-300.
Rustidja
(1991) Aplikasi Manipulasi Kromosom pada Program Pembenihan Ikan.
Makalah dalam Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional V, Jakarta. 23
hal.
Santiago,
L. P., Penman, D. J., Myers, J., Powell, S., Roongratri, N., Suwannarak, C. Dan
Johnstone, R. (1993) Triploidy Induction in Tilapia (Oreochromis niloticus L.)
Using Nitrous Oxide. In Genetics in Aquaculture and Fisheries
Management (Eds. D. Penman, N. Roongratri dan B. McAndrew), 164 p. AADCP
Workshop Proceedings University of Stirling, Scotland.
Solar,
I. I., Donaldson, E. M. dan Hunter, G. A. (1984) Induction of Triploidy in
Rainbow Trout (Salmo Gairdneri Richardson) by Heat Shock and
Investigation of Early Growth. Aquaculture, 42: 57-67.
Shepherd,
C. J. dan Bromage, N. R. (1996) Intensive Fish Farming. Great Britain by
Hartnolls Ltd. Bodman, Cornwall. 403
Tave,
D. (1993) Genetics for Fish Hatchery Managers. Avi. Publ. Co. Inc.,
Wesport, Connecticut. 368 p.
Thorgaard,
G. H. (1983) Chromosome Set Manipulation and Sex Control in Fish. In Fish
Physiology, Volume IX, Part B (Eds. W. S. Hoar, D. J. Randall dan E. M. Donaldson),
pp. 405-434. Academic Press Inc., New York, USA.
Yamazaki,
F. (1983) Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture, 33: 329-354.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Alat dan
bahan yang digunakan dalam praktikum
Ovaprim RakAkuarium
Batu Aerasi Selang
Aerasi
jarum
suntik
Tapis
Santan
Gelas
Ukur Mangkok
Plastik
Bulu Ayam Ikan
Lele
Gunting Bedah Water Bath
LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA DAN PEMULIAAN IKAN
TRIPLOIDISASI
IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus)
DENGAN PERLAKUAN WAKTU KEJUTAN SUHU
YANG
BERBEDA (P3K3)
Oleh
LOSITA SUSTRI
0704121066
LABORATORIUM
PEMBENIHAN DAN PEMULIAAN IKAN
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN LMU KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar