Senin, 29 Oktober 2012

LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA DAN PEMULIAAN IKAN


1.    PENDAHULUAN

1.1              LATAR BELAKANG
Pengelolaan budidaya ikan (khususnya ikan lele) perlu memperhatikan efisiensi dan produktivitas usaha serta kualitas ikan. Hal ini harus diimbangi dengan upaya perbaikan dan peningkatan kualitas induk maupun benih ikan lele. Saat ini disinyalir telah terjadi penurunan kualitas induk maupun benih ikan lele yang dipelihara oleh petani ikan. Beberapa usaha maupun penelitian telah dilakukan dalam upaya peningkatan produktivitas (produksi) dan perbaikan serta peningkatan kualitas genetik ikan lele seperti program seleksi, manipulasi jenis kelamin melalui perlakuan hormonal maupun manipulasi kromosom.Teknik-teknik manipulasi kromosom telah diterangkan oleh para peneliti sejak tahun 1970-an dan teknik ini potensial untuk sex control dan manipulasi genome (Thorgaard, 1983).
Manipulasi kromosom mungkin dilakukan selama siklus nukleus dalam pembelahan sel, dasarnya adalah penambahan atau pengurangan set haploid atau diploid. Pada ikan dan hewan lainnya dengan fertilisasi eksternal, prosesproses buatan (artificial) dapat dilakukan untuk salah satu gamet sebelum fertilisasi atau telur terfertilisasi pada beberapa periode selama formasi pada zigot (Purdom, 1983).
Poliploidisasi merupakan salah satu metode manipulasi kromosom untuk perbaikan dan peningkatan kualitas genetik ikan guna menghasilkan benih-benih ikan yang mempunyai keunggulan, antara lain: pertumbuhan cepat, toleransi terhadap lingkungan dan resisten terhadap penyakit. Induksi poliploid dalam budidaya ikan sangat menarik perhatian masyarakat petani ikan maupun para peneliti di bidang perikanan. Poliploidisasi pada ikan dapat dilakukan melalui perlakuan secara fisik seperti melakukan kejutan (shocking) suhu baik panas maupun dingin, pressure (hydrostatic pressure) dan atau secara kimiawi untuk mencegah peloncatan polar body II atau pembelahan sel pertama pada telur terfertilisasi (Thorgaard, 1983; Yamazaki, 1983; Carman et al., 1992; Shepperd dan Bromage, 1996).
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari praktikum Genetika dan Pemuliaan Ikan yang berjudul “Triploidisasi Ikan Lele dumbo (Clarias gariepinus) Dengan perlakuan waktu kejutan suhu yang berbeda” ini adalah untuk mengetahui perlakuan terbaik untuk menghasilkan ikan lele triploid.
Sedangkan manfaat yang bisa kita dapat adalah kita bisa mengetahui perlakuan terbaik untuk triplodisasi ikan lele sehingga kita bisa mempraktekanya sendiri.





II.  TINJAUAN PUSTAKA

Proses triploidisasi pada ikan prinsipnya adalah mencegah atau menahan terjadinya peloncatan polar body II dari telur atau pembelahan meiosis II. Kejutan sebaiknya dipergunakan setelah kromosom bereplikasi dan nukleus zigot kira-kira terbagi menjadi dua. (Bidwell et al., 1985; Johnstone, 1993; Tave, 1993; Shepperd dan Bromage, 1996). Periode dengan sensitif tinggi untuk menghasilkan ikan tetraploid menggunakan perlakuan kejutan panas dicapai pada waktu menutupnya konjugasi pronuklei betina dan jantan serta lysisnya membran nuklear yang mencapai metafase mitosis I (Minrong et al., 1993). Peloncatan polar body II pada beberapa spesies ikan terjadi antara 3-7 menit setelah fertilisasi (Carman et al., 1991). Komen (1990) mengatakan bahwa peloncatan polar body II terjadi pada 5 menit setelah fertilisasi, sedangkan proses mitosis terjadi pada 30 menit setelah fertilisasi.
Thorgaard (1983) menjelaskan, pendekatan praktis untuk induksi poliploidi melalui kejutan panas merupakan perlakuan aplikatif sesaat setelah fertilisasi (untuk induksi triploidi) atau sesaat setelah pembelahan pertama (untuk induksi tetraploidi) pada suhu lethal. Kejutan suhu selain murah dan mudah juga efisien dapat dilakukan dalam jumlah banyak (Rustidja, 1991). Kejutan panas merupakan teknik perlakuan fisik yang paling umum digunakan untuk menghasilkan poliploidi pada ikan (Don dan Avtalion, 1986).
Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam perlakuan kejutan suhu pada telur, yaitu waktu awal kejutan, suhu kejutan dan lama kejutan (jelas sangat rendah daya hidupnya, tetapi Don dan Avtalion, 1986). Nilai parameter tersebut berbeda untuk setiap spesies (Pandian dan Varadaraj, 1988). Tave (1993) melaporkan, triploidisasi akan menyebabkan peningkatan pertumbuhan dan sterilitas. Ukuran sel ikan triploid lebih besar dibandingkan dengan diploid, nukleus berisi 33 % lebih allel untuk pertumbuhan dan energi untuk pertumbuhan produksi gamet berkurang atau terhambat. Ikan triploid mempunyai gonadosomatic index yang lebih rendah bila dibandingkan dengan diploid (Mair, 1993).
Keuntungan triploid adalah dapat mengontrol overpopulate, membuat populasi monosex, memacu pertumbuhan dan kelulushidupan serta memiliki pertumbuhan lebih cepat dari diploid, karena energi yang dipergunakan untuk perkembangan gonad pada diploid dipergunakan untuk pertumbuhan somatik pada triploid (Thorgaard, 1983).












III. BAHAN DAN METODE


3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum Genetika dan Pemuliaan Ikan ini dilaksanakan pada tanggal 27 November-06 Desember 2010. Pelaksaan praktikum ini bertempat di laboratorium PPI milik jurusan budidaya perairan fakultas perikanan dan ilmu kelautan Universitas Riau.
3.2. Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum Genetika dan Pemuliaan Ikan ini adalah induk ikan lele jantan 1 ekor dan betina 1 ekor, ovaprime, larutan fisiologis,  dan larutan pembuahan.
Alat-alat yang digunakan berupa akuarium, tapis santan, jarum suntik, bulu ayam, petri dish, mangkok untuk menampung telur, serta aerator untuk sistem aerasi saat penetasan telur serta waterbath sebagai wadah air panas untuk perlakuan kejutan suhu.
3.3. Metode Praktikum
Metode yang digunakan dalam pratikum Genetika dan Pemuliaan Ikan ini adalah metode dengan pengamatan langsung terhadap objek praktikum yang diteliti atau yang diamati. Yaitu induk ikan lele yang siap memijah serta telur-telur yang siap untuk menetas menjadi larva.
3.4. Prosedur Praktikum
Penyuntikan adalah kegiatan memasukan hormon perangsang ke tubuh induk betina. Hormon perangsang yang umum digunakan adalah ovaprim. Caranya, siapkan induk betina yang sudah matang gonad; sedot 0,5 ml ovaprim untuk setiap kilogram induk; suntikan ke dalam tubuh induk tersebut; masukan induk yang sudah disuntik ke dalam bak lain dan biarkan selama 6 jam. 6 jam berikutnya kemudian dilakukan penyuntikan ke 2 dengan dosis yang sama.
Setengah jam sebelum pengeluaran telur, sperma harus disiapkan. Caranya, tangkap 1 ekor induk jantan yang sudah matang kelamin; potong secara vertikal tepat di belakang tutup insang; keluarkan darahnya; gunting kulit perutnya, mulai dari anus hingga belakang tutup insang; buang organ lain dalam perut; ambil kantung sperma; bersihkan kantung sperma dengan tisu hingga kering; hancurkan kantung sperma dengan cara menggunting bagian yang paling banyak; peras spermanya agar keluar dan masukan ke dalam cangkir yang telah diisi larutan fisiologis.
Pengeluaran telur dilakukan setelah 6 jam dari penyuntikan ke 2. Cara pengeluaran telur : siapkan 1 buah mangkok, sebotol NaCl Fisiologis, larutan penbuahan, sebuah bulu ayam, kain lap dan tisu; tangkap induk dengan sekup net; keringkan tubuh induk dengan lap; bungkus induk dengan lap dan biarkan lubang telur terbuka; pegang bagian kepala oleh satu orang dan pegang bagian ekor oleh yang lainnya; pijit bagian perut ke arah lubang telur, dan tampung telur dalam mangkok.
Seteleh semua telur keluar, kemudian dilakukan proses pembuahan. Yaitu dengan mencampurkan cairan sperma dan telur serta diencerkan dengan larutan penbuahan. Aduk dengan menggunakan bulu ayam, setelah homogen kemudian tebarkan ke dalam tapisan santan yang telah disiapkan sebelumnya, biarkan beberapa menit sesuai perlakuan yang dipakai. Setelah itu angkat tapisan santan dan pindahkan ke dalam heater yang bersuhu 400C untuk kejutan panas dan biarkan beberapa menit sesuai perlakuan.
Pindahkan tapisan santan kedalam aquarium sebagai wadah inkubasi dan penetasan telur. Sore hari lakukan pembuangan telur yang tidak terbuahi agar tidak mengotori wadah dan mengganggu penetasan telur yang terbuahi, hitung jumlah telur yang terbuahi untuk mengetahui nilai Fertilizatio Rate (FR). Setelah telut menetas kemudian hitung nilai Heching Rate (HR). Larva diberi pakan alami berupa daphnia setelah hari ke 2 penetasan. Hitung Survival Rate (SR) pada hari ke 5 dan ke 10.















IV. HASIL  DAN  PEMBAHASAN

4.1. Hasil
Hasil yang diperoleh dari praktikum “Triploidisasi Ikan Lele dumbo (Clarias gariepinus) Dengan Perlakuan Lama Kejutan Suhu Yang Berbeda (Perlakuan P3K3)”  ini adalah:
1.    Fertilization Rate (FR)
Ø
Ø
Ø  90,17 %
2.    Heching Rate (HR)
Ø
Ø
Ø
3.    Survival Rate 5 (SR 5)
Ø
Ø
Ø
4.    Survival rate 10 (SR 10)
Ø
Ø
Ø
Berat ahir larva = 0,40 gr, jadi berat rata-rata per ekor ikan adalah 0,13 gr.
4.2. Pembahasan
Laju penetasan telur ikan lele triploid jauh lebih rendah dibandingkan dengan ikan lele diploid. Hal ini dimungkinkan akibat pengaruh perlakuan kejutan suhu panas yang diberikan pada telur dalam proses poliploidisasi. Tave (1993) mengemukakan bahwa mortalitas yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh beberapa macam efek merugikan dari perlakuan kejutan pada sitoplasma telur. Perlakuan kejutan suhu dapat mengakibatkan kerusakan pada benang-benang spindel yang terbentuk saat proses pembelahan sel dalam telur. Kejutan suhu dan tekanan mengakibatkan rusaknya mikrotubulus yang membentuk spindel selama pembelahan (Dustin, 1977 dalam Gervai et al., 1980). Rieder dan Bajer (1978) dalam Bidwell et al. (1985) berpendapat bahwa kejutan panas menyebabkan depolimerisasi pada polimer tubulin dalam mikrotubulus yang essensial dalam pembentukan spindel. Pandian dan Varadaraj (1990) menyatakan, beberapa telur yang diberi kejutan panas mati sebelum atau sesaat setelah menetas. Percobaan triploidisasi pada ikan salmon salar memperlihatkan kematian selama percobaan yang terjadi pada saat penetasan telur dan pemeliharaan (Johnstone, 1985).
Rendahnya laju penetasan pada ikan lele triploid ini juga disebabkan tingginya larva cacat yang dihasilkan setelah proses penetasan. Rieder dan Bajer (1978) dalam Bidwell et al. (1985) mengemukakan bahwa larva cacat dapat disebabkan oleh lapisan terluar dari telur (chorion) yang mengalami pengerasan, sehingga embrio akan sulit untuk keluar. Setelah chorion dapat dipecahkan, maka embrio akan lahir dengan keadaan tubuh yang cacat. Pengerasan chorion ini akibat terganggunya aktivitas enzim penetasan yang disebabkan oleh suhu air media inkubasi terlalu tinggi. Pemberian kejutan panas pada telur dapat pula menyebabkan individu-individu yang dihasilkan memperlihatkan bentuk tubuh yang abnormal seperti ekor yang pendek, tidak berekor atau memiliki ekor yang bengkok (Solar et al., 1984) dan berkromosom haploid (Gervai et al., 1980). Embrio haploid akan mati selama penetasan dan hanya sebagian kecil saja yaitu 0,15-0,2 % yang dapat bertahan hidup (Purdom, 1983).
Larva cacat kemungkinan disebabkan karena adanya gangguan pada saat pembelahan mitosis pertama yang mengakibatkan hilangnya beberapa kromosom dan mereduksi penggandaan kromosom dalam siklus sel berikutnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan jumlah kromosom di dalam tubuh dan juga hilangnya beberapa informasi genetik dalam kromosom yang hilang ataupun tereduksi tersebut (Alridge et al., 1989).
Kelangsungan hidup ikan lele triploid lebih rendah apabila dibandingkan dengan ikan lele diploid. Hal ini kemungkinan besar akibat rendahnya kemampuan ikan-ikan poliploid seperti triploid dalam menangkap oksigen terlarut dalam air. Kemampuan banding oxygen atau pengikatan oksigen terlarut ikan-ikan triploid dan tetraploid sangat rendah bila dibandingkan dengan ikan normal (Rustidja, komunikasi personal).
Ikan-ikan poliploid seperti triploid memiliki ukuran sel yang besar dan jumlah sel yang jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan ikan diploid, dikarenakan pembelahan sel yang terjadi di dalam tubuh ikan poliploid sangat tinggi dan hal ini diduga menyebabkan proses metabolisme di dalam tubuh ikan juga akan berjalan lebih cepat, sehingga sangat diperlukan jumlah atau kadar oksigen terlarut yang cukup besar. Padahal, apabila kemampuan banding oxygen ikan terlalu rendah, maka jumlah/kadar oksigen yang diserap jauh tidak seimbang dengan jumlah/kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan untuk memperlancar proses metabolisme tubuhnya. Ditambah lagi dengan adanya persaingan antar individu untuk mengkonsumsi oksigen terlarut dalam air media pemeliharaan yang menyebabkan terbatasnya ketersediaan oksigen terlarut. Akibatnya, kemampuan ikan-ikan triploid untuk bertahan hidup sangat rendah. Kelangsungan hidup ikan poliploid pada fase larva pertama kali makan umumnya berbeda dengan diploid, yaitu lebih rendah bila dibandingkan dengan diploid (Thorgaard, 1992; Purdom, 1993; Santiago et al., 1993). Thorgaard (1983) melaporkan bahwa zebrafish tetraploid terlihat sedikit dan tidak ada yang tahan hidup melebihi larva fase kuning telur. Induksi tetraploid pada perch (Perca flavescens) menghasilkan mortalitas yang sangat tinggi ketika larva berumur 7 hari (Cassani et al., 1990 dan Malison et al., 1993).
Tave (1993) menyatakan bahwa ukuran sel ikan triploid lebih besar dibandingkan dengan diploid. Nukleus berisi 33 persen lebih allel untuk pertumbuhan dan energi yang dipergunakan untuk pertumbuhan produksi gamet berkurang atau terhambat.





V. KESIMPULAN DAN SARAN


5.1. Kesimpulan
Triploidisasi merupakan salah satu bagian dari ploidisasi dengan proses atau kejadian terbentuknya individu dengan kromosom lebih dari dua set. Triploidisasi telah dilakukan dan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan.
Teknik triploidisasi dapat mengunakan dua pelakuan, yaitu perlakuan fisika dan kimia. Penggunaan perlakuan fisika dan kimia sesaat setelah dimulainya pembuahan merupakan cara yang relatif mudah dalam triploidisasi. Kejutan suhu mempunyai kelebihan jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kejutan suhu ini bisa berupa kejutan yang lebih panas dari suhu normal. kejutan panas juga memerlukan waktu yang lebih singkat daripada kejutan dingin. Pendekatan praktis untuk induksi poliploidi melalui kejutan panas merupakan perlakuan aplikatif sesaat setelah fertilisasi (untuk induksi triploidi) atau sesaat setelah pembelahan pertama (untuk induksi tetraploidi) pada suhu lethal.
Tiga parameter yang berhubungan dengan perlakuan kejutan panas adalah umur zigot waktu pelaksanaan kejutan, suhu kejutan dan lama perlakuan kejutan. Pemilihan umur zigot waktu pelaksanaan, suhu dan lama waktu kejutan yang tepat adalah spesifik untuk masing-masing sperma dalam petridisch.
Prinsip pemberian kejutan suhu pada telur yang telah dibuahi adalah mencegahnya keluarnya badan kutub II pada saat pembelahan meiosis II. Ikan-ikan triploid merupakan ikan-ikan secara genetik mempunyai satu set tambahan kromosom, sehingga pada setiap sel tubuhnya memiliki tiga set kromosom. Dua set kromosom adalah kromosom telur dan satu set kromosom sperma.

5.2. Saran
Saran yang bisa diberikan untuk para praktikan adalah agar para praktikan benar-benar melakukan praktikum ini sesuai prosedur yang ada, sehingga hasil yang diperoleh bisa dipertanggung jawabkan. Karena ilmu yang bisa kita peroleh dari praktikum ini sangat banyak dan bermanfaat bagi kita kedepannya.















DAFTAR PUSTAKA

Alridge, F. J., Marston, R. Q. dan Shireman, J. V. (1989) Induced Triploids and Tetraploids in Bighead Carp, Hypophthalmichthys nobilis. Verified by Multi-Embryo Cytofluorometric Analysis. Aquaculture, 87: 121-131.

Bidwell, C. A., Chrisman, C. L. dan Libey, G. S. (1986) Polyploidy Induced by Heat Shock in Channel Catfish. Aquaculture, 57: 362.

Carman, O., Oshiro, T. dan Takashima, F. (1991) Estimation of Effective Condition for Induction of Triploidy in Goldfish, Carassius auratus Linnaeus. Journal of The Tokyo University of Fisheries, Volume 78, Nomor 2. pp. 127-135.

Carman, O., Oshiro, T. dan Takashima, F. (1992) Variation in The Maximum Number of Nucleoli in Diploid and Triploid Common Carp. Nippon Suisan Gakkaishi, 58 (12) Formerly Bull. Japan. Soc. Sci. Fish. pp. 2303-2309.

Cassani, J. R., Maloney, D. R., Allaire, H. P. Dan Kerby, J. H. (1990) Problems Associated with Tetraploid Induction and Survival in Grass Carp, Ctenopharyngodon idella. Aquaculture, 88: 273-284.

Don, J. dan. Avtalion, R. R. (1986) The Induction of Triploidy in Oreochromis aureus by Heat Shock. Theor. Appl. Genet., 72: 186-192.

Gervei, J., Marian, T., Krasznai, Z., Nagy, A. dan Csanyi, V. (1980) Occurrence of Aneuploidy in Radiation Gynogenesis of Carp, Cyprinus carpio Linn. Laboratory of Behaviour Genetics, Eutuos University, Hungary.

Johnstone, R. (1985) Induction of Triploidy in Atlantic Salmon by Heat Shock. Aquaculture, 49: 133-139.

Johnstone, R. (1993) Optimisation of Ploid Manipulation Procedures. In Genetics in Aquaculture and Fisheries Management (Eds. D. Penman, N. Roongratri dan B. McAndrew), 164 p. AADCP Workshop Proceedings, University of Stirling, Scotland.

Komen, J. (1990) Clones of Common Carp (Cyprinus carpio L.). New Perspectives in Fish Research. PhD Thesis, Agricultural University Wageningen, Netherlands. pp. 1-44.

Mair, G. C. (1993) Chromosome-Set Manipulation in Tilapia-Techniques, Problems and Prospects. Aquaculture, 111: 227-244.

Minrong, C., Xinqi, Y., Xiaomu, Y., Hanqin, L., Yonglan, Y., Kang, Y., Peilin, L. Dan Hongxi, C. (1993) Heterogenetic Tetraploids from A Cross of Japanese Phytophagous Crucian Carp Females (Carassius auratus cuvieri) and Red Crucian Carp Males (Carassius auratus red var.). Aquaculture, 111: 317-318.

Malison, J. A., Kayes, T. B., Held, J. A., Barry, T. P. dan Amundson, C. H. (1993) Manipulation of Ploidy in Yellow Perch (Perca flavescens) by Heat Shock, Hydrostatic Pressure Shock and Spermatozoa Inactivation. Aquaculture, 110: 229-242.

Pandian, T. J. dan Varadaraj, K. (1990) Techniques to Produce 100 % Male Tilapia. NAGA, The ICLARM Quarterly, Volume 13, Nomor 34. pp. 3-5.

Purdom, C. E. (1983) Genetic Engineering by The Manipulation of Chromosomes. Aquaculture, 33: 287-300.

Rustidja (1991) Aplikasi Manipulasi Kromosom pada Program Pembenihan Ikan. Makalah dalam Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional V, Jakarta. 23 hal.
Santiago, L. P., Penman, D. J., Myers, J., Powell, S., Roongratri, N., Suwannarak, C. Dan Johnstone, R. (1993) Triploidy Induction in Tilapia (Oreochromis niloticus L.) Using Nitrous Oxide. In Genetics in Aquaculture and Fisheries Management (Eds. D. Penman, N. Roongratri dan B. McAndrew), 164 p. AADCP Workshop Proceedings University of Stirling, Scotland.

Solar, I. I., Donaldson, E. M. dan Hunter, G. A. (1984) Induction of Triploidy in Rainbow Trout (Salmo Gairdneri Richardson) by Heat Shock and Investigation of Early Growth. Aquaculture, 42: 57-67.

Shepherd, C. J. dan Bromage, N. R. (1996) Intensive Fish Farming. Great Britain by Hartnolls Ltd. Bodman, Cornwall. 403

Tave, D. (1993) Genetics for Fish Hatchery Managers. Avi. Publ. Co. Inc., Wesport, Connecticut. 368 p.

Thorgaard, G. H. (1983) Chromosome Set Manipulation and Sex Control in Fish. In Fish Physiology, Volume IX, Part B (Eds. W. S. Hoar, D. J. Randall dan E. M. Donaldson), pp. 405-434. Academic Press Inc., New York, USA.

Yamazaki, F. (1983) Sex Control and Manipulation in Fish. Aquaculture, 33: 329-354.





LAMPIRAN

Lampiran 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum


Ovaprim                                                          RakAkuarium
                           
Batu Aerasi                                                                 Selang Aerasi
                 jarum suntik                                                                       Tapis Santan

                               
Gelas Ukur                                                      Mangkok Plastik
            
     Bulu Ayam                                                             Ikan Lele


Gunting Bedah                                                       Water Bath












LAPORAN PRAKTIKUM GENETIKA DAN PEMULIAAN IKAN


TRIPLOIDISASI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN PERLAKUAN WAKTU KEJUTAN SUHU
YANG BERBEDA (P3K3)





Oleh
LOSITA SUSTRI
0704121066








LABORATORIUM PEMBENIHAN DAN PEMULIAAN IKAN
JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN LMU KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar