Kamis, 31 Maret 2011

BEJE

I. PENDAHULUAN

Lahan rawa merupakan salah satu ekosistem yang sangat potensial untuk pengembangan pertanian. Luas lahan ini, diperkirakan sekitar 33,4 juta ha, yang  terdiri atas lahan pasang surut sekitar 20 juta ha dan rawa lebak 13 juta ha.
Lahan rawa yang berada di daratan dan menempati posisi peralihan antara sungai atau danau dan tanah darat (uplands), ditemukan di depresi, dan cekungan-cekungan di bagian terendah pelembahan sungai, di dataran banjir sungai-sungai besar, dan di wilayah pinggiran danau.
Lahan rawa yang tersebar di dataran berketinggian sedang dan dataran tinggi, umumnya sempit atau tidak luas, dan terdapat setempat-setempat. Lahan rawa yang terdapat di dataran rendah, baik yang menempati dataran banjir sungai maupun yang menempati wilayah dataran pantai, khususnya di sekitar muara sungai-sungai besar dan pulau-pulau deltanya adalah yang dominan.
Usaha perikanan merupakan salah satu usaha manusia untuk dapat memanfaatkan sumber daya hayati perairan, yang memperoleh hasil guna  dan daya guna untuk memenuhi kebutuhan manusia. Kebutuhan masyarakat akan ikan sebagai sumber protein hewani yang ekonomis dan mudah didapat.





II. ISI

Luas perairan pedalaman di Indonesia diperkirakan 54 juta hektar dan merupakan perairan pedalaman terluas yang ada diantara negara-negara ASEAN. Dari luasan perairan pedalaman tersebut 71,63 % atau 39,4 juta hektar terdiri dari perairan rawa, sungai dan lebak 22,13%, danau alam dan buatan 3,89%. Sebagian besar perairan tersebut berada di Kalimantan (60%), di Sumatera ( 30%) dan sisanya di Sulawesi, Papua, NTB, Jawa dan Bali. (Manggabarani. 2004).
Berdasarkan karakterisassi lahan pasang surut dan rawa dapat dibedakan 5 tipologi, salah satu diantaranya adalah tipe rawa lebak. Rawa lebak dipengaruhi oleh luapan sungai dan hujan, selalu tergenang selama musim hujan dan kering dimusim kemarau.
Berdasarkan lama genangan dan tinggi air, lahan rawa lebak dapat dibedakan dalam 3 tipologi yaitu : 1) lebak dangkal, lama genangan < 3 bulan dengan tinggi air < 50 cm, 2) lebak tengahan, lama genangan 3 – 6 bulan dengan tinggi air 50 –100 cm dan 3) lebak dalam atau rawa monoton lama genangan >6 bulan dengan tinggi air > 100 cm (Ismail et al. 1990). Berdasarkan tipologi tersebut perairan rawa lebak ada yang bersifat permanen dan tidak permanen yaitu kering dan berair pada waktu tertentu, usaha perikanan beje dominan pada tipologi lebak tengahan. Usaha perikanan beje di Kalimantan Selatan dan Tengah sudah dimulai sejak tahun 1950 (Kartamihardja. 2002), dengan cara menggali tanah berbentuk empat persegi panjang yang dilakukan pada musim kemarau. Pada musim hujan permukaan air sungai akan naik dan mengenangi dataran rawa dan beje. Pada musim kemarau saat permukaan air sungai surut, perairan rawa juga mulai surut, ikan mecari tempat yang lebih dalam (sungai, cekukan tanah, danau rawa, parit dan beje) untuk menyelamatkan diri dari ancaman kekeringan. Hartoto et al (1998) mengemukakan bahwa bagian perairan yang adakalanya (temporer) digunakan oleh individu ikan untuk menghindar dari kondisi yang mengancam merupakan salah satu tapak penting untuk kelangsungan hidupnya seperti kekeringan, kualitas air yang buruk dan ancaman predator. Pada saat puncak musim kemarau dataran sekitar beje kering, air dan ikan dalam beje terisolir dan terjebak, pada saat ini panen beje dapat dilakukan.
Beje adalah kolam berbentuk persegi panjang, dibuat di lahan rawa lebak tipologi lebak tengahan, ukuran beje bervariasi, ukuran panjang 10 – 30 meter, lebar 5 – 10 meter dengan kedalaman air 1,5- 2,0 meter atau rata-rata luas 148,3 m2 ± 76,5. sebagian besar kiri kanan pada setiap beje dihubungkan dengan parit yang dalam bahasa daerah disebut ‘tatah” atau “pelacar”. Tatah atau pelacar bertujuan untuk membantu mengarahkan ikan masuk dalam beje. Sisa tanah galian beje dan tatah di timbun atau ditempatkan pada satu sisi yang juga berfungsi untuk menghadang dan mengarahkan ikan agar masuk dalam beje. Upaya lain yang dilakukan untuk lebih merangsang ikan masuk dalam beje uaitu dengan menempatkan potongan dahan dan ranting kayu dalam beje sebagai rumpon.
Gambar 1. Gambar beje
Panen beje dilakukan pada musim kemarau, dimulai bila tanah dataran sekitar beje kering yaitu sekitar awal bulan kedua musim kemarau, permukaan air dalam beje 20 – 30 cm lebih rendah dari permukaan tanah sekitas. Panen beje dilakukan dengan alat bantu “:rempa beje” (nama daerah), terbuat dari benang nylon politelin, mesh size 1,0 – 1,5 inchi, berbentuk empat persegi panjang, keliling pinggiran rempa beje ditambahkan tali ris. Bagian dalam dan keliling pinggiran beje dibersihkan dari dahan, ranting kayu dan rerumputan, disiapkan patok kayu kecil untuk tempat menyangkutkan tali ris rempa beje. Rempa dibentangkan pada seluruh permukaan beje, pinggiran keliling rempa dikaitkan pada patok kayu pada kedalaman 10 – 20 cm dari permukaan air dan 10 –20 cm dari pinggiran beje. Bagian tengah rempa akan tenggelam dan membentuk kerucuk, ikan (terutama jenis labyrinth) berusaha muncul kepermukaan untuk bernapas, bergerak mengikuti arah lekukan rempa beje sampai kepermukaan kemudian mengarah ketengah beje dan masuk rempa beje.
Untuk mengambil hasil tangkapan, rempa beje diangkat beberapa kali setiap (2 –6) jam tergantung perkiraan kepadatan ikan dalam rempa beje dan tingkat ketahanan ikan untuk tidak timbul kepermukaan air. Ikan tambakan, sepat siam, sepat rawa adalah jenis
pertama yang masuk rempa, kemudian ikan betok, gabus dan lele yang paling akhir tertangkap. Kegiatan panen berhenti bila hasil tangkapan dianggap sudah tidak layak untuk ditunggu, dan umumnya panen 1 beje menghabiskan waktu 1 –2 hari hari termasuk mengangkut hasil ketempat pengolahan atau penampungan.
Gambar 2. Alat dan cara panen Beje
Komposisi jenis ikan yang tertangkap dalam beje berkisar antara 5 – 12 jenis yang didominasi oleh ikan rawa ( black fish) dari suku Anabantidae dan Nandidae.
Gambar 3. Jenis ikan yang tertangkap dari dalam Beje















III. PENUTUP

Beje adalah kolam yang dibuat di daerah rawa banjiran berfungsi untuk mengumpulkan dan penangkapan ikan, sumber pendapatan nelayan dan pemanfaatan lahan rawa untuk usaha perikanan.
Hasil panen beje perbuah selain ditentukan oleh luasannya, faktor jarak lokasi beje dari pinggiran sungai dan hubungan beje dengan sungai sangat berpengaruh terhadap hasil panen beje Beje yang lokasinya lebih dekat dengan pinggiran sungai dan beje yang dihubungkan dengan sungai ( beje sungai) memberikan hasil relative lebih tinggi (750 – 1.745 kg/beje). Secara umum usaha perikanan beje dilahan rawa lebak cukup prduktif, memberikan kontribusi terhadap pendapatan neleyan yang cukup signifikan.













DAFTAR PUSTAKA

Hartoto, D.I., Sarnita, A.S., Sjafei, D.S., Awalia, Yustiawati , Kamal, M.M.dan Siddik.Y. (1998). Dokumen: Kriteria Evaluasi Suaka Perikanan Perairan Darat. Pusat Penelitian dan Pengembangan Limnologi .Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 51 hal.

Ismail. I.G, I,Basa, Soetjipto, Suhud. T (1990). Tinjauan Hasil Penelitian Usahatani Lahan Pasang Surut di Sumatera Selatan. Risalah Seminar hasil Penelitian Proyek Penelitian Pertanian Lahan Pasang Surut dan Rawa. Swamps-II. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor 1990.

Kartamihardja. E.S . 2002. Pengaruh Reklamasi Lahan Rawa Terhadap Penurunan Produksi dan Perubahan Komposisi Jenis Ikan pada Usaha Perikanan Beje di Kapuas , Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. Vol.8 No.4 tahun 2002. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan.

Manggabarani,H 2004. Arah dan Pengembangan Potensi Perikanan Rawa Dalam Pembangunan Nasional. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. 12 hal










Tugas Individu Pengembangan Industri Akuakultur


LOKASI BUDIDAYA IKAN ALTERNATIF
KOLAM PRODUKSI DILAHAN RAWA LEBAK


OLEH
LOSITA SUSTRI
0704121066






 















JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar